23. Soto Ayam

12K 2.3K 91
                                    

"T-tuan belum pulang?"

Pasang mata bening Naya membola, melihat Laksamana Latif dan punggawanya datang lengkap dengan baju koko di hari kedua Mak dipulangkan. Naya pikir, tuannya ini telah kembali ke Gunung Jati, setelah kemarin ia dan Hasbi sempat sekali lagi berebut, di mobil mana Mak seharusnya menumpang.

Orang dewasa kadang terlewat kekanakan.

Atas rasa syukur yang Naya sekeluarga panjatkan, mereka berniat mengadakan syukuran sekaligus buka puasa bersama, dilanjutkan dengan sholat Maghrib berjamaah di ruang tamu Mak yang luas. Mengundang beberapa anak pesantren dan tetangga dekat.

Naya memang tak punya uang mengadakan semua ini. Tapi Mak punya. Simpanan Mak, yang entah Naya tak tahu-menahu darimana Mak mendapatkannya, cukup untuk sekadar menjamu berbuka sekitar 20 orang tamu.

Laksa tersenyum manis ketika Naya memandangnya takjub. Bukan takjub, Laksa! Naya hanya terkejut! Apapun itu, Laksa bahagia. Ia tetap akan tersenyum manis agar Naya tahu ia sedang bahagia. Si pria besar sensitif itu bisa manis juga.

Di tangan Kris yang berdiri di belakang Laksa, telah ada dua keranjang buah jeruk dan salak. Naya menerima hadiah dari dua tamu jauhnya itu.

"Kata Arini, hari ini Mak syukuran. Jadi saya mau ikut mendoakan," sapa Laksa ketika sampai di teras yang juga telah digelar tikar tambahan. Takut jika ruangan dalam tak mampu menampung semua tamu.

Naya mengangguk. Ia tak bisa mengusir Laksa. Apalagi, Laksa telah dengan baiknya membawakan buah yang cukup banyak. Bisa Naya suguhkan sebagai tambahan pencuci mulut nanti sore.

"Tapi ini masih siang. Tuan kecepatan datangnya."

Laksa maju. Ia mensejajarkan diri dengan Naya yang hanya setinggi pundak. Sedikit menunduk, Laksa mengucap secara gamblang tujuan ia datang lebih cepat.

"Saya mau pendekatan dengan calon ibu mertua dulu. Boleh?"

Hampir saja satu keranjang jeruk di tangan Naya lepas, jika Kris tak segera menadahnya dari bawah. Naya mengalami serangan jantung ... lagi. Naya kira Laksa lupa kegiatan pendekatannya, selama Naya sibuk merawat Mak. Ternyata, ia serius masih meneruskan.

"Saya serius. Bolehkan, Ya?" tanya Laksa bergeming dari posisinya. Kris sudah menyengir kuda. Bisa-bisanya ia terjebak di situasi canggung begini.

Naya menoleh pada sumber suara. Seketika tatapan Naya bertubrukan dengan mata Laksa yang begitu hitam. Sekilas, alis tebal Laksa mengalihkan perhatian. Laksa tersenyum. Alis tebalnya terangkat sebelah. Menunggu jawaban. Naya menunduk. Ia tak boleh pingsan hanya karena ini.

"Boleh?" Sekali lagi Laksa bertanya.

Naya mengangguk pelan.

---------

Gencatan pendekatan benar dimulai sejak Naya mengibarkan bendera abu-abu pada Laksamana Latif. Bendera putih akan Naya kibarkan jika ia telah mantap lahir batin menerima pinangan Laksa. Termasuk, pinangan Hasbi. Naya sedang memikirkan matang-matang pria mana yang dirasa tepat, menemani sisa hidup Naya hingga tutup usia.

Di antara dua negara yang bersekutu tersebut, belum ada yang berani mengambil hati secara terang-terangan tentang niat mereka pada perkumpulan negara non blok, yang anggotanya terdiri dari Mak, Arini, Aim dan Uma.

Selangkah lebih maju, Aim dan Uma telah setengah takluk pada Laksa. Namun, hanya sebatas teman main. Mereka tak pernah tahu Laksa sedang gencar menjadikan mereka anak-anak sambung Laksa. Juga jangan anggap mudah kubu Hasbi. Arini pendukung kuat Hasbi sejak dahulu kala.

Hanya tinggal Mak yang baru pulih dari sakit, berperan sebagai Komisaris Jenderal dari negara-negara non blok tersebut. Semoga Mak sama berpihaknya dengan yang Naya putuskan kelak.

Naya yang sedang mengiris kubis untuk bahan soto ayam, bisa melihat dengan jelas Laksa di ruang tengah sedang menyuapi Mak, jeruk manis yang tadi ia bawa. Entah apa yang mereka bicarakan. Kris pun juga telah lenyap diculik anak-anak. Bisa jadi, anak-anak meminta Kris menemani mereka keliling Ciamis dengan mobil Laksa.

"Awas, Teh. Nanti yang dipotong jarinya. Bukan kubisnya," kekeh Arini.

Naya sontak menoleh. Mata pisau sempat menggores jarinya. Bukan gara-gara Laksa, tapi Arini yang mendadak mengagetkan Naya.

"Kamu juga. Iris yang benar! Jangan tebal-tebal itu kubis."

Sembari memperingatkan Arini, Naya membersihkan luka dengan air mengalir, lalu memasang plester antiseptiknya sendiri. Naya bukan wanita manja, yang hanya teriris begini saja harus memanggil sang lelaki untuk mengobati lukanya.

"Teh Naya suka ya sama Tuan Laksa?" goda Arini. "Teteh tahu juga 'kan, kalau A' Hasbi itu tungguin Teteh pulang untuk di ... ?"

Tak perlu Arini lanjutkan, Naya sudah mengangguk paham.

"Aa' Hasbi aja, Teh. Sudah terbukti kesetiaannya menunggu Teteh. A' Hasbi cinta banget sama Teteh."

"Hush!" tepuk Naya di bahu Arini.

Setia sih setia. Namun tindakan menunggu istri orang lain agar menjadi janda terlebih dahulu lantas ia bisa nikahi, rasanya itu bukan 'cinta' atau 'cinta banget.' Melainkan obsesi berlebihan yang harus terpenuhi untuk memuaskan batin dan rasa penasaran. Seharusnya Hasbi sadar, jika segala yang berlebihan tidaklah baik.

"Nggak baik, Rin. Teteh sama A' Hasbi belum ada ikatan apa-apa. Jadi jangan menyimpulkan yang macam-macam."

Arini merengut. "Iya iya. Arini hanya memberi pandangan. Tapi semua Rin serahkan ke Teh Naya. Kan Teteh yang menjalani nanti."

----------

Acara buka puasa berjalan lancar. Tak ada lagi adegan berebut makanan antara Hasbi dan Laksa. Mereka sama-sama layaknya sahabat baik. Bercengkrama, senda gurau dengan yang lain. Semoga pemandangan ini benar adanya. Bukan hanya sekadar pencitraan semata.

"Imam, Pak Laksa?" tawar Hasbi demi kesopanan ketika sebagian peserta buka bersama telah mengambil air wudhu. Hasbi tak bersalah juga. Ia tidak tahu hingga sejauh mana hafalan Laksa. Siapa tahu, ternyata hafalan Laksa lebih mumpuni daripada Hasbi.

"Ayo, Tuan."

Diperparah oleh Kris yang selama perjalanan ke Ciamis ini rutin menjadi makmum sholat Laksa. Laksa telah berani memimpin sholat. Namun, hanya di depan Kris, atau buruh yang Laksa tahu juga sama miskin ilmu agamanya dengan Laksa. Bukan di depan para santri pesantren yang hafalan juz Al-Qur'annya lebih, lebih, lebih banyak dari Laksa.

Sempat Aim mengangguk pada Laksa, tapi keberanian Laksa belum sampai sana. Ia sadar benar ia tak lebih baik dari para santri yang Hasbi pimpin.

"Ustadz Hasbi saja. Saya makmum," ucap Laksa menyerah.

Laksa langsung menempatkan diri di shaf makmum pertama, tepat di belakang Hasbi. Untuk urusan agama, Laksa sadar diri. Ia tak sehebat pria lain yang mencintai Naya. Tak sehebat Hasbi.

Hasbi yang tadi memimpin doa untuk kesembuhan Mak.
Hasbi yang tadi para santri itu panggil dengan sebutan 'ustadz'.
Hasbi juga yang mengingatkan agar mereka sholat dulu sebelum makan besar.

Jika memang Naya memilih pria selain Laksa, Laksa akan berusaha mengikhlaskan. Toh, yang terbaiklah yang akan memenangkan hati Naya.

Laksa ... akan berusaha.

Tak terasa, sebulir air mata menetes di sujud Laksa pada rakaat terakhir.

Ia pernah berdo'a, agar Allah membantunya mendapatkan Naya. Menatap kenyataan akhir-akhir ini, Laksa mengubah doanya. Laksa berdoa, agar Naya lebih baik mendapatkan pria terbaik untuk dirinya juga anak-anak.

Jika beruntung, pria tersebut adalah Laksa. Jika Laksa yang tak beruntung, ia meminta agar Allah membantunya mengikhlaskan Naya.

Semoga ... Laksa bisa ikhlas.

----------

Uluhh uluhhh Babang Laksa. Gimana Mak nggak klepek2 nulisnya ..🥰🥰🥰😂😂😂❣️❣️❣️❣️

Kalo Laksa nggak jadi sama Naya, ada yang bersedia nampung Laksa?

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang