Naya mengusap aliran deras dari kedua mata beningnya. Kini tak lagi bening. Genangannya memburamkan pandangan.
Ia merebahkan kepala di meja makan dekat pelataran kamar mandi, tempatnya mencuci baju secara manual. Memeluk secarik surat yang beberapa detik lalu, ia baca.
Di sana, Naya menangis sejadi-jadinya. Memuaskan sesenggukan yang tak lagi hanya tertahan di tenggorokan. Naya melampiaskan segalanya dalam tangis.
Sesuatu meremas kuat hati Naya. Menghilangkan sisa-sisa kerinduan pada jasad yang tak lagi ada. Senyum yang dulu tiap hari menyertainya. Juga nasehat pria yang sekian tahun begitu ia rindukan. Kini, rasanya lenyap. Teralihkan oleh sakitnya Naya melepas si pungguk, sang penulis surat. Perihnya melebihi perih luka lama yang selalu mengingat Ndaru yang kini telah tenang di sisi-Nya.
Haruskah Naya mengejar Laksa sekarang?
Haruskah ia mengabari Hasbi tentang perasaannya yang kian mantap pada Laksa?
Haruskah ia meminta saran dulu pada Mak, Arini, Aim dan Uma?
Haruskah ia merentangkan tangan secara terbuka menerima pinangan Laksa saat ini juga?
Naya kebingungan. Ia tak tahu harus mulai darimana. Yang pasti, ia harus melanjutkan mencuci baju dulu, sebelum Aim dan Uma kehabisan baju bersih.
---------
"Kalau T-tuan Laksa melamar Naya ... bagaimana Mak?"
Satu daftar yang harus Naya lakukan, pertama adalah meminta restu sang ibu. Mak masih sedikit lemas. Jika akan duduk, Naya harus mengganjal beliau dengan bantal di kursi. Agar tak pegal berlama-lama dalam posisi yang sama.
Arini yang terduduk di samping Mak, menanggapi pertama kali.
"Teh Naya serius? Pak Laksa benar sudah melamar Teteh secara langsung?"
Naya mengangguk. Tatapannya tetap tak berpindah dari manik Mak.
"Kamu yakin, Nay?"
Naya menunduk, namun kepalanya mengangguk.
"Semua Mak serahkan ke Naya. Kamu yang menjalani. Hanya satu pesan Mak. Jangan jadikan Laksa pengganti Ndaru. Ndaru tetaplah Ndaru. Laksa tetaplah Laksa. Cintai keduanya dengan cara kamu sendiri."
Naya memeluk Mak erat. Sejak bersama Ndaru, Mak tak pernah mencampuri urusan Naya dengan suaminya. Pun ketika Naya kala itu meminta restu. Mak seketika memberi. Mak yakin pilihan Naya adalah yang terbaik bagi sang anak. Tak perlu memaksakan seseorang untuk mengisi hati orang lain. Biar takdir saling mempertemukan mereka. Mendekatkan mereka. Mak yakin, orang baik akan bertemu dengan yang baik pula. Jika nyatanya jodoh Naya tak baik, mungkin itu adalah ujian bagi Naya menjadikan diri dan pasangannya menjadi lebih baik lagi.
"Kamu mau kembali ke Gunung Jati, Nay?"
"Mak masih sakit."
"Ada Arini. Ada Hasbi dan anak-anak santri. Ada Allah."
Naya mengeraskan tangisnya. Perempuan dua anak ini memang ratunya sabar. Tapi tetaplah paling rapuh jika kepalanya sudah berada di pangkuan Mak.
"Ya Allah, Teh. Jangan nangis. Kalau Mak sembuh, InsyaAllah Rin bawa Mak ke sana. Atau Teh Naya ke sini lagi. Tapi sudah bawa kakak ipar," goda Arini sembari mengusap surai sang kakak. Naya sedetik terkekeh. Berakhir dengan berpelukan bertiga.
"Aim dan Uma sudah tahu?"
Naya menggeleng. Tak berselang beberapa detik, teriakan dua bocah itu terdengar mengalun sejak dari halaman rumah.
"Nah itu dia."
"Assalamu'alaikum," salam serentak keduanya, begitu pintu terbuka.
Arini sontak menantang keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pungguk Memeluk Bulan (FULL)
Spiritual[Juara Utama 1 Lomba Menulis KBM APP Ramadhan 2021] #1 generalfiction #1 baper #1 bucin #1 spiritual #1 Islam #2 chicklit #22 roman Naya, Kusuma, dan Ibrahim, adalah tiga sosok manusia yang hidup di rumah kontrakan dengan atap bocor. Di sisi lain ke...