45. Pungguk Gagah dan Bulan Manis

28.3K 2.3K 344
                                    

"Sakit nggak?"

Naya menarik sudut bibirnya. Manis ... sekali. Mendengar pertanyaan suami yang sejak tadi menungguinya. Melalui proses, demi proses. Pembukaan, demi pembukaan.

Mimik Laksa tampak tenang. Padahal, debar jantung menggila sejak tadi. Sejak Naya mengernyit, menahan nyeri. Perempuan itu, ternyata sama sekali bukan tipe pasien yang meronta-ronta jika kesakitan. Di sisi lain, Naya sengaja melakukannya. Agar tak ada satupun keluarga, yang kini berkumpul di depan ruang bersalin, makin panik. Terutama, sang suami yang ada di samping.

Jangan sampai Laksa jantungan lagi, layaknya dulu.
Jangan sampai Laksa hilang kendali dan makin kalut, lantaran tak bisa melakukan apa-apa untuk belahan hatinya.

Naya tak masalah. Do'a dan restu suamilah, yang ia harap paling besar dalam perjuangan ini.

"Sakit. Sedikit," balasnya dalam senyum. "Maafkan ... kesalahan Naya ya, Mas?"

Laksa mengangguk. Andai bisa. Ia ingin berdiri dan mengecup kening si bulan.

Memasuki pembukaan 7, nyeri mendera tak terkira. Panggul seperti sedang diluluh lantahkan. Sungguh, ini jihad sebenarnya seorang ibu.

Laksa hanya bisa tertunduk, menahan diri untuk tak menangis. Tiada upaya yang bisa ia lakukan dari kursi rodanya. Secanggih-canggihnya alat yang ia punya untuk menunjang hidup, tetaplah anggota badan ciptaan Allah yang terbaik. Kini, hanya tergolek lemah di sandaran tangan, pun pijakan kaki. Tak bisa memeluk untuk berbagi derita dengan sang istri.

Hanya do'a ... Benar-benar, hanya do'a ... yang bisa Laksa rapalkan demi keselamatan Naya dan anaknya.

Persalinan kali ini terasa lebih sakit dan lama, dibandingkan saat dulu melahirkan Aim dan Uma. Entah. Mungkin karena sudah terlewat bertahun-tahun. Jadi, Naya tak ingat lagi bagaimana rasanya dulu, dan membandingkannya secara tepat. 

Hati Laksa bagai diremat kuat, ketika sang dokter menjelaskan hasil pemeriksaan terakhir. Ia bernafas dalam. Menghirup kuat oksigen yang ada. Kecemasan tetiba menghampiri. Mengaburkan kewarasan Laksa.

Dokter memandang penuh sendu, manik sepasang suami istri itu.

"Ibu Naya saya anjurkan operasi ya, Pak. Operasi caesar. Ini persalinan tidak maju-maju. Saya curiga ada lilitan tali pusat yang menyebabkan bayi tidak maju. Saya minta persetujuan keluarga. Dan Ibu langsung masuk ruang operasi."

Dua insan yang mendadak diterjang kabar kurang baik, saling pandang. Mata Naya mulai berkaca di tengah ia mengatur nafas, mengurangi remasan tak kasat mata dari dalam perut. Ia takut. Tak berbeda dengan Laksa. Hatinya bagai tercabik-cabik hingga remuk, lantas dilempar tanpa ampun ke daratan. Sesakit-sakitnya Laksa saat mengetahui vonis lumpuhnya, ini terasa lebih ... menyakitkan. 

Menarik nafas panjang, Laksa mengangguk. Apapun cara, yang dokter anggap terbaik, akan Laksa turuti.

"Kita ikuti keputusan dokter ya, Ya? Untuk kebaikan kalian."

"Dokter, saya bisa minta tolong panggilkan Ibu di depan? Agar seluruh keluarga tahu," imbuh Laksa.

"Bisa. Kami siapkan semuanya. Ibu Naya tahan dulu ya? Harus kuat."

---------------------

"Mohon maaf ... Bapak. Allah telah menentukan takdir-Nya pada Bu Naya. Kami sudah memaksimalkan yang kami bisa. Kami turut berdukacita."

10 jam setelah Naya menyelesaikan operasinya dengan lancar, tanpa disangka-sangka, Allah membalikkan takdir perempuan itu 180 derajat. Mengambil selamanya sebelah hati Laksa untuk digenggam-Nya. Kembali ke haribaan.

Naya menggigil selama beberapa jam terakhir di ICU. Perutnya kram tanpa henti. Darah mengalir deras. Hingga ... tak ada lagi pertolongan manusia yang bisa mencegah takdir sang Pencipta.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang