12. Sup Matahari

14.4K 2.6K 38
                                    

Apakah pintu hati Naya akan terbuka hanya dengan sekali ketuk? Tidak mungkin. Itulah mengapa Laksa memakai jurus pendekatan pada orang-orang tersayang Naya, selain mendekatkan diri pada yang di Atas.

Sesiangan Laksa mengajak jalan duo kecil, yang sepertinya akan lupa jadwal pesantren sore ini. Mereka terlalu senang naik mobil yang ada sunroof-nya. Aim masih menjaga gengsi dengan duduk sok tenang. Uma? Jangan tanyakan lagi kehebohan anak itu. Ternyata, sifat kampungan dan kekanakan hanya terpaut tipis, dilihat dari teriakan Uma. Ini sih lebih kampungan menurut Aim. Gengsi Aim setegar sang ibu. Gengsi berpadu sopan. Susah diruntuhkan. Kecuali, saat tiba-tiba Kris membuka sunroof hingga terbuka maksimal. Astaga! Aim sontak melepas sandal jepit. Ia berdiri. Mengeluarkan kepala bersama sang adik.

"MasyaAllah ... MasyaAllah ... Indah banget, Tuan!" teriak Aim. Tangannya terentang ke udara.

"Apa Uma bilang! Ini seruuuu bangett!! Kita harus ajak Ibuk, Bang!!!"

Tanpa sadar, tawa Laksa menggema. Selepas-lepasnya. Sudut mata Laksa terangkat sempurna. Kris hanya tersenyum. Padahal, hati Kris terharu bukan main. Seumur Kris bekerja pada Laksa, majikannya itu hanya punya marah dan diam. Tak pernah sekalipun menemukan Laksa seceria ini. Sembunyi-sembunyi, Kris mengusap air menggenang di sudut mata. Nyatanya, tak hanya Naya yang berhasil menghangatkan hati Laksa. Namun, juga kedua anak ini. Laksa menjadi bertanya-tanya, kasih sayang macam apa yang Ndaru beri pada mereka, dalam keterbatasan semasa hidup Ndaru? Keluarga yang ia tinggalkan begitu sabar ... dan penuh kasih sayang.

"Tuan, apa boleh Ibuknya Uma naik mobil ini?" tanya Uma yang kembali duduk di samping Laksa. 

"Boleh."

"Alhamdulillaaaah. Terimakasih, Tuan!!" 

--------------

Layaknya sebuah lokasi proyek, sedikit pohon ada di sini. Hanya ada batu bata, pasir, mesin cor, dan debu dimana-mana. Laksa mampir sejenak melihat pekerjaan beberapa buruh. Ia berani mengajak anak-anak karena khusus tiap hari Minggu tak semua buruh bekerja. Mereka bergantian jadwal, jadi walaupun hari Minggu, tetap ada yang datang ke proyek. Debu hari ini pun tak sebanyak hari biasa.

"Tuan jualan rumah ya?" 

Aim mensejajari Laksa yang sedang terdiam menunggu laporan mandor Deni. Kris masih memanggilkannya dari lokasi rencana blok S ke blok C, tempat Laksa biasa mengumpulkan para mandor. Laksa menoleh. Uma tak kelihatan batang hidungnya. Si bungsu pergi bersama Kris. Jelas, ia tak akan mau meninggalkan kesempatan seharian bersama mobil itu. Kemanapun roda sang mobil bergulir, Uma akan ikut.

"Iya. Kenapa Aim?"

"Harganya berapa Tuan, kalau boleh Aim tahu?"

Lagi, Laksa terbahak. Ia seperti sedang bernegosiasi dengan seorang pembeli. Laksa bukan ingin menertawakan Aim yang tak akan mampu beli. Hanya saja, ini terasa lucu, seorang anak bertanya harga rumah.

"Kenapa kamu tanya harga?"

"Kalau Aim bisa nabung, Aim akan menabung untuk belikan Ibuk rumah. Biar kami nggak perlu bayar ke Mak Menik lagi 300 ribu tiap bulan."

Laksa mengangguk-angguk. Hati Laksa bagai tersentil. Ia baru sadar jika dirinya ternyata sedang menyukai seorang janda dua anak yang hidup susah di kontrakan bocor.

"Aim bisa menabung mulai sekarang. Nanti bilang sama saya, kalau sudah penuh. Saya bantu hitungkan kurang atau tidaknya," ungkap Laksa.

Entah Aim menganggap Laksa bercanda atau tidak, namun yang pasti ... Laksa serius soal ini.

------------

Kepulan asap dapur rumah Bu Sukma tak sepekat dapur umum, meski orang di sana-sini sibuk memasak. Ventilasi yang baik, pintu dan jendela yang lebar, cukup cepat mengganti udara hasil pembakaran dengan oksigen baru dari arah luar rumah.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang