24. Bebek Goreng

11.3K 2.2K 43
                                    

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Untuk kamu." 

Laksa mengulurkan apa yang ia bawa sejak keluar dari mobil hitamnya tadi. Seplastik hitam berisi kotak-kotak makan berwarna putih.

Laksa datang dengan tampilan yang sama seperti hari sebelumnya. Pakaian muslim lelaki, lengkap dengan penutup kepala.

Bedanya, hari ini Kris tak tampak. Laksa memerintahkan Kris untuk survei lebih dulu ke pesantren milik Hasbi. Pertemuan mereka di acara berbuka puasa kemarin, membuka jalan bagi pesantren Hasbi untuk mendapat bantuan potongan biaya pembangunan masjid pesantren, yang sempat terhenti sejak aliran dana pesantren mulai macet.

"Apa ini, Tuan?" tanya Naya.

Aim dan Uma yang sedang membaca Al Qur'an bersama di kursi teras depan, berlari mendatangi sang majikan. 

"Ini pasti uang ya, Tuan?" Aim mempertegas, yang dibalas anggukan oleh Laksa.

"Nasi kotaknya isinya apa?"

Uma merebut dari sang ibu dan mengintip dari sudut tutup. Nasi kuning lengkap dengan lauk bebek goreng dan sambal lalap. Naya memijat keningnya. Ia malu bukan main. Anak-anak ini sepertinya tak lagi menganggap Laksa sebagai majikan ibunya. Lebih seperti teman.

"Maaf, Tuan."

"Tidak apa-apa. Boleh duduk?"

"Iya. Silakan, Tuan!" tawar Naya agar Laksa duduk di kursi kayu paling ujung. Kursi terbagus yang teras miliki.

Naya hanya keheranan saja. Ini kedua kalinya, Laksa menenteng bawaan tak lazim untuk Naya. Dilihatnya Aim membuka amplop. Uang 50 ribu Aim temukan di sana. Aim serahkan pada Naya. Penuh ragu, Naya menerima setelah Laksa tersenyum dalam anggukan. 

"Ini uangnya buat Ibuk. Aim senang!"

Aim dengan senyum sumringah, menatap Laksa dan Naya bergantian. Naya ikut tersenyum teduh memandangi mata bulat anak lelakinya itu. Aim mirip sekali Ndaru. Hanya saja, kulit Aim lebih bersih dan putih. Menurun dari Naya. 

"Kayak dulu Bapak pulang ceramah 'kan juga begini. Bawa uang dan nasi kotak untuk Uma dan Aim. Besok bawa lagi ya, Tuan? Kalau uang Tuan habis, kasih Ibuk 10 ribu juga Aim suka kok."

Naya tersentak. Bukannya membekap mulut Aim seperti biasa, Naya justru berdiri dari duduknya. Sekilas Laksa lihat, wajah Naya berubah pucat. Naya berbalik, membelakangi mereka. Sesuatu di dalam dada Naya berdebar hebat. Debaran antara tak menyangka Aim lah sumber informasi oleh-oleh yang Laksa bawa, juga Aim mengingatkan Naya kebiasaan sehari-hari keluarga kecilnya dulu. Selagi suaminya—Ndaru— masih ada.

Mata Naya menggenang. Ia usap perlahan bulir yang hampir luruh membasahi pipi. Tak ingin terlihat makin rapuh, Naya memutuskan untuk kabur ke dalam.

"S-saya ... masuk sebentar."

"Ibuk?"

Laksa yang ditinggal begitu saja, mematung di tempatnya. Ia baru sadar, jika selama ini apa yang ia lakukan berdasarkan ide Aim, adalah yang Aim dan Ndaru lalui dulu. Sebuah fakta kebiasaan keluarga yang telah lama hilang selama bertahun-tahun, terjadi kembali. Dengan Laksa ... sebagai sang pengganti.

----------

"Kamu tidak apa-apa kan? Maaf, saya tidak tahu kalau ternyata amplop uang dan nasi kotak itu ... "

Akhirnya, Naya kembali keluar dengan wajah bersih, usai dibasuh air wudhu. Jika boleh, ia tak ingin lagi kembali ke teras dan menanggung malu di depan Laksa, soal yang baru saja terjadi. Hanya saja, tidak sopan namanya jika meninggalkan tamu seperti tadi.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang