32. Sate Kambing Bumbu Kacang

12.4K 2.4K 90
                                    

Laksamana Latif: 
Hai calon istri ... 
Nyonya Laksa?

Ada niat terselubung di balik pembagian ponsel kepada para warga kubu kanan pekerja Laksamana Latif. Seusai satu ponsel berada di tangan sang calon istri, yang bahkan belum ia lamar, siang di hari Idul Fitri, Laksa justru lebih disibukkan memberi les privat cara menggunakan ponsel pada Aim, alih-alih mendengar Bu Sukma dan para tamu mengobrol hal yang tak ia sukai. Membicarakan orang lain.

Tujuan utama Laksa adalah, agar Aim meneruskan ilmu barunya pada sang ibu.

"Istri itu Ibuk ya, Buk?" celetuk Uma kala ponsel baru itu berdenting. Menampilkan pesan singkat dari Laksa pada malam harinya. 

Mereka berlari dari kamar hingga ruang tamu yang hanya berjarak sejengkal, lantaran tak pernah ada dalam sejarah sebuah ponsel tergeletak rapi di atas meja lipat ruang tamu kontrakan Naya, berbunyi. Mungkin jika kelamaan tak segera dibuka, takut pesannya kadaluarsa. Meja lipat itu biasanya juga hanya terlipat sendu di balik pintu. Kini, terpasang di tengah tikar dengan sehelai kain lembut mengalasi sang ponsel. Ponsel yang hanya berisi nomor Laksa, Arini, Rustini, dan Risma.

"Iya. Istri itu Ibuk," jawab Naya mencari jawaban aman dan cepat. Ia terlalu sibuk menyembunyikan rona malu di pipi. Pun meredam debar di dada.

"Bang, coba dibuka HP-nya!"

Uma menyerahkan ponsel pada Aim. Aim hampir saja membuka kunci layar ponsel. Belum sempat, Naya sudah merebut ponsel tersebut secepat kilat. Takut ternyata isi pesan singkat Laksa mengandung unsur rayuan gombal ala lelaki kelewat tua sudah lama tak memiliki pasangan, yang tak seharusnya dibaca anak-anak.

"Ibuk simpan! Sampai nanti calon Bapak kalian sudah jadi Bapak ya? Takut rusak. Biar Bapak saja yang pegang nanti."

Naya berlalu ke kamar. Meletakkan ponsel di tempat terbaik di dalam lemari, dengan beralaskan kain yang sama lembutnya ... lagi.

-------------

"Kenapa pesan saya tidak dibalas sejak kamu punya ponsel? Aim belum ajarin cara mengoperasikannya?"

Pertanyaan pertama Laksa, ketika kini Naya telah duduk canggung di sampingnya di kursi pelaminan. Genggaman tangan kedua insan tersebut tak lepas sejak penghulu menyatakan sah sebagai suami istri.

Pesta Laksa-Naya tak digelar mewah. Hanya berupa syukuran di rumah Naya yang mengundang tetangga sekitar, santri pesantren, juga iring-iringan rombongan dari Gunung Jati—teman bekerja Naya— yang Laksa sewakan dua bus besar. Sukacita, mereka menuju Ciamis. Termasuk, para terdakwa pencemaran nama baik seorang Laksamana Latif yang diplesetkan menjadi nama hewan terbesar berwarna abu itu, juga turut dalam perjalanan.

Laksa memang sempat tak menyangka, ia dan Naya dibicarakan begitu gamblang di grup WhatsApp, yang kini sudah tak ada sisanya lagi. Ia marah. Tapi marah Laksa hanya sebatas ujung kuku. Laksa sebenarnya terbiasa, mendengar orang membicarakannya di belakang. Tak pernah ada karyawan yang tak mengeluh dengan cara kerja sang tuan. Hebatnya, mereka masih saja setia meski bergumpal-gumpal keluh berkumpul di hati. Setidaknya, kini Laksa mengerti. Diam-diam ia memaklumi jika pekerja juga manusia yang butuh tempat berkeluh. Layaknya, Laksa. Kini, ia punya dua tempat berkeluh terbaik menggantikan Wein, si sumber penyakit itu. Allah dan Nayarra Humaira.

"Maaf. S-sudah."

"Atau, belum bisa?" tatap Laksa pada Naya yang lebih menyukai menatap lantai berlapis karpet dibandingkan wajah tampan suami barunya.

Naya mengangguk ragu. Keuntungan pesta sederhana begini adalah tak perlu banyak tamu asing. Undangan yang adalah orang terdekat, langsung menyibukkan diri menikmati kudapan sembari mengobrol, alih-alih mengganggu dua mempelai kelewat matang, yang kini sedang asyik bercengkerama.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang