33. Bingkisan Lebaran

12.5K 2.2K 40
                                    

Naya bangun dengan suhu pendingin udara menyeruak, menusuk tulang. Ia merapatkan selimut tebalnya. Naya menyipitkan mata melihat angka yang tertera di jam tangan Laksa, yang tergeletak di atas nakas. Pukul 3 pagi. Naya berbalik ke sisi ranjang di belakang, penuh ragu. Laksa tertidur di sana. Ia masih belum terbiasa. Namun membangunkan Laksa, adalah perintah terakhir sang suami sebelum mereka terlelap.

Kosong.

Tak ada siapapun di sisi ranjang lain. Naya terduduk. Meski baru semalam, rasa kehilangan sempat menyelinap di dada.

Mata Naya mengedar. Ternyata, Naya menemukan Laksa sedang bersujud di atas sajadah samping ranjang. Mengenakan pakaian ibadah lengkap. Koko putih, sarung bergaris dominan warna hitam. Rambut Laksa masih basah, tertutup peci rajut putih. Wajah pria itu bersinar di tengah lampu tidur yang temaram.

Rasa kehilangan yang sempat mampir di hati Naya, lenyap. Berganti ribuan syukur mendesak memenuhi relung. Mata Naya berkaca. Ia tak salah memilih Laksa sebagai suami.

Laksa mengakhiri sholat usai salam. Ia menoleh. Manik tajam pria itu seketika menemukan tatapan polos Naya yang sehabis bangun tidur, sedang terduduk di atas ranjang. Naya belum terbiasa ditatap seperti itu. Naya tahu Laksa tidak sedang marah. Tapi memang ekspresi Laksa tak bisa diubah. Kecuali, jika kemudian seulas senyum teduh terbit dari bibirnya. Tajam mata Laksa seketika tertular. Berubah kian teduh juga. 

Laksa bangkit. Mendudukkan diri di samping Naya. Mengusap lembut surai hitam sang istri.

"Sholat?" 

Naya mengangguk. Sekaligus perlahan menunduk lagi. Menyembunyikan malu. Sungguh, berdua dengan belahan hati tanpa ada sorak hore pengganggu, membuat semua terasa ... romantis. Laksa tak bisa tak makin melebarkan sudut bibirnya, ketika melihat Naya malu-malu kucing. Laksa mendekap erat Naya, sebelum Naya sempat kabur ke kamar mandi.

"Nanti pagi ke pasar ya? Aku mau belikan Mak perabot juga kasur untuk kita."

Naya mendongak menatap Laksa. Ia menggeleng tak enak. "Nanti habis uangnya."

"Nggak apa-apa. Nggak akan habis. Itu rezeki Mak dan Arini. Sudah diatur sama Yang di Atas."

Tak pernah ada yang tahu, rahasia rezeki manusia. Boleh jadi, memang rezeki Naya, Mak, Arini, dan dua manusia kecil anggota salah satu keluarga miskin Ciamis itu, adalah melalui Laksa. Allah memberi jalan masuk rezeki, salah satunya dengan menjadikan Laksa sebagai anggota ke-enam dari keluarga tersebut.

Perabot,
Kasur,
Makan,
Uang,
Bahkan sehirup udara untuk bernafas, semua telah diatur.

Sungguh, tak ada yang perlu manusia khawatirkan dalam hidupnya, jika ia senantiasa berserah hanya pada Allah. 

---------

"Beli kasur 5, lemari baju gambar boneka 1, tikar 1, meja lipat kecil 2, mmm ... apalagi ya?" gumam Uma di depan salah seorang pramuniaga di toko mebel pasar Ciamis.

"Apalagi, Ba—?"

Buru-buru Naya menutup mulut bungsunya yang kelewat memesan terlalu banyak, dibandingkan tujuan Naya yang hanya akan membeli ranjang baru.

Hari kedua Laksa sekeluarga habis untuk berkeliling pasar. Setelah semalam kabur ke hotel berdua saja, lantaran ranjang reot yang Laksa tiduri takut akan ambruk dalam beberapa jam saja ia beristirahat.

"Kalau ... sepeda ada di sini nggak, Teh?" ucap Aim lirih dengan pandangan awas menatap sang ibu. Takut kalau-kalau Naya juga bergilir membekap mulutnya. 

Bukannya menutup mulut seperti yang Naya lakukan pada Uma, hati Naya justru mencelos tak percaya. Baru kali ini Aim mengutarakan keinginannya di sebuah toko. Dan yang ia pinta pertama seumur Naya mengajaknya berbelanja adalah ... sepeda.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang