8. Sayur Bening Bayam Hambar

14.4K 2.7K 105
                                    

"Makanlah, Sa! Kamu itu udah tua. Umur tiga puluhan harusnya udah punya anak istri, kerja giat, nggak kekanakan begini. Kamu itu kenapa sih, Nak? Ibu cuma mau kamu jadi anak sholeh. Kamu nggak sayang ya sama Ibu dan almarhum Bapak?"

Laksa mual lagi.

Ia memuntahkan makanan yang hanya dua sendok ia santap dari hidangan rumah sakit. Sayur bening bayam hambar, ayam bumbu kecap, dengan tahu kukus tak ada gurih-gurihnya. Alih-alih masakan Rustini, ini yang terparah. Meski kata dokter, menu ini paling tepat untuk penyakit hatinya.

Bukan virus malarindu yang sedang menyerang hati Laksa. Bukan! Hati Laksa benar berpenyakit lantaran terlalu lama mengkonsumsi alkohol.

"Nggak enak, Bu. Benar-benar nggak enak! Tolong ... tolong bawa makanan yang lain."

Laksa sebenarnya lapar. Namun perut rata Laksa terus-menerus menolak diisi. Ia ingin makan spaghetti pedas tapi dokter tak mengizinkan. Mau mati cepat gara-gara nekat atau perlahan karena lapar? Laksa seperti tak tertolong meski ia berulang kali minta tolong.

"Ibu nggak bisa bawa sembarang makanan dari luar, Sa. Ini organ penawar racun kamu sedang bermasalah. Ibu nggak mau ambil resiko."

"Naya, Buk. Tolong suruh masak bening bayam. Samain saja menunya. Tapi Laksa mau ada bumbu. Nggak seperti ini."

Pernah di hari kedua Laksa dirawat, Bu Sukma mencetuskan ide untuk membohongi Laksa. Laksa memakan masakan Rustini dengan mengaku hasil pekerjaan Naya. Namun nyatanya, tak membuahkan hasil. Laksa tetap tahu.

"Naya masih sakit. Kata Rus kamu kasih dia uang buat berobat lagi 'kan?"

"Saya mual, Bu. Tolong singkirkan," tangan itu menjauhkan suapan Bu Sukma dari mulutnya.

Bu Sukma menghela nafas berat. Ia meletakkan kembali nampan berisi menu lengkap itu ke atas nakas.

"Kenapa Naya sih, Sa? Kenapa kamu hanya mau masakan dia?"

------------

"Loh, Mbak Naya? Sama siapa?"

Kris mendapati Naya duduk merenung di bangku lobi RSUD Kabupaten Gunung Jati. Sebuah tas kulit abal-abal yang sudah terkelupas kulitnya di beberapa bagian beserta amplop besar hasil bacaan Rontgen, teronggok cantik di atas pangkuan.

"Kris? Kamu ngapain di sini?"

"Tuan Laksa 'kan sakit, Mbak. Dirawat di sini."

Naya tahu Laksa sakit. Hanya saja ia tak tahu jika penyakit Laksa parah hingga dirawat di RSUD. 

"Sakit apa, Kris?"

"Sakit hati kata dokter."

Naya tertegun. "Sakit hati? Sakit hati sampai masuk rumah sakit, Kris? Nggak ngaji ke ustadz aja?"

Kris berdecak. "Ini hati beneran, Mbak. Hati yang di perut. Sampai kuning semua kulit Tuan."

Naya menutup mulut yang menganga. Tak sanggup membayangkan seserius apa penyakit Laksa. Yang pasti ini parah. Pikirnya, penyakit parah saja tak sampai membuat kulit kuning. Ini pasti di atasnya parah.

Naya bangkit perlahan setelah mengambil kruk di sebelah. "Kalau jenguk nanti ketularan nggak, Kris?"

Kris menggeleng. Ia berbalik memimpin Naya ke paviliun pasien VIP RSUD Gunung Jati, dengan penuh tanya di kepala. Apa yang sebenarnya Naya lakukan di sini?

-----

"Naya?!"

Hampir saja Laksa meloncat dari ranjang jika tak tertahan oleh selang infus dan tubuh yang sedang lunglai. Pasalnya, baru kali ini ia dikejutkan oleh kedatangan seorang perempuan yang ingin menjenguk. Tak ada lagi perempuan di lingkaran hidup Laksa selain Bu Sukma, dan para asisten rumah tangga. Buruh juga sales Laksa semua jenis mahkluk berjakun, kulit kasar dan hitam. Tak ada indah-indahnya.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang