'Kamu mau menerima saya Naya, jika saya sudah menjadi pria baik lagi?'
Naya menggeleng-gelengkan kepala bagai orang kerasukan. Kerasukan lamaran Laksa malam itu, yang mampir ribuan kali ke pikiran Naya. Sungguh tak ada bosannya.
"Astagfirullah ... astagfirullah ... !!!"
Menutup kedua telinga pun tak mengurangi intensitas ilusi suara yang sungguh menyiksa jantung Naya.
"Kenapa kamu, Nay?"
Rustini mendekat, melihat sahabatnya ini aneh beberapa hari belakangan. Ia menyodorkan teh manis dari teko jatah buruh, yang masih tersisa setengah. Rantang Naya yang biasanya sigap diisi lauk-pauk sisa buka puasa tadi pun, belum juga tersusun rapi. Rustini mengambil alih. Membantu menyusunnya.
Naya masih bungkam.
"Kamu sakit lagi ya? Tolong Nay, jangan sakit. Kita kelimpungan bener kalo kamu sakit. Tuan Laksa jadi kayak gajah ngamuk."
Naya menggeleng. Ia tak ingin membuat khawatir teman seperjuangannya. Pun juga tak berani jujur dengan apa yang mendera kesehatan hatinya akhir-akhir ini. Takut jika teman-temannya menganggap lain seorang Naya. Baru teman saja Naya sudah ketakutan. Apalagi jika warga sedesa yang melakukannya.
Naya, janda penggoda majikan.
Naya, si miskin yang berharap menjadi Cinderella.
Naya, pakai susuk agar Laksa bertekuk lutut.Oh, Naya! Tenggelamkan saja pikiran burukmu itu ke laut! Hidupmu akan susah payah sampai tua jika berlian di depan mata tak kamu ambil.
"Saya sehat kok, Mbak. Saya beberes tas anak-anak dulu ya? Bentar lagi mereka selesai tarawihnya."
Naya kabur ke mess, sebelum mulutnya terbuka, meluncurkan curahan hati pada Rustini. Ia belum siap. Benar-benar belum siap ... lahir dan batin.
--------
Ibu dan dua anak sudah saling janji tadi sore. Usai tarawih, tak perlu masuk ke dalam rumah Bu Sukma lagi. Mereka cukup duduk di pos satpam, menunggu sang ibu datang. Boleh jika mau bercengkrama dengan Pak Parman. Lelaki itu terbiasa sendirian. Hamid akan datang menemaninya selepas pukul 10 malam. Pasti akan bahagia jika ada lawan mengobrol. Janji ibu dan sepasang anak ini sudah berjalan selama beberapa hari, dengan amat lancar.
"Ibuk, Tuan mau antarin kita pulang. Sekalian mau cek genteng kita, bocor lagi atau nggak."
Wajah Naya memucat. Lebih pucat dari ketika ia mendapati Aim dan Uma sudah berdiri bersama Laksa di depan gerbang rumah. Baju koko coklat tua, kopiah warna senada, sarung hitam polos. Laksa terlihat ... berbeda. Lebih tampan? Otak Naya mulai konslet. Ia segera menunduk saat pasang mata masing-masing saling bertemu.
Naya menggeleng pada Aim. Tak berani menatap Laksa. Terlalu tajam mata itu, meski di keremangan lampu gerbang. Bisa-bisa Naya pingsan seketika, sebelum berhasil kabur.
Hebatnya, 3 hari kemarin Naya memang berhasil kabur. Berbagai alasan ia kemukakan ketika Laksa mampir dapur, sepulang dari proyek, demi tujuan ingin menegaskan obrolan yang terhenti malam itu.
"Saya sibuk masak. Sebentar lagi Maghrib."
"Saya sedang memotong cabe. Awas pedas, nanti mata Tuan pedih."
"Maaf, saya mau beli tomat dulu. Mbak Rus lupa belikan."
Termasuk jam-jam dimana Naya sudah tak lagi sibuk, situasi kondisi mendadak tak mendukung keduanya untuk berbicara serius secara empat mata.
"Buk? Ayo!!" tarik Uma pada tunik panjang Naya.
Laksa dan Aim ternyata sudah mendahului di jalan depan, selama Naya memikirkan alasan apalagi yang bisa ia pakai untuk menjauhkan Laksa dari jangkauan. Sementara saja. Hingga setidaknya ... hati Naya tertata rapi dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pungguk Memeluk Bulan (FULL)
Spiritualité[Juara Utama 1 Lomba Menulis KBM APP Ramadhan 2021] #1 generalfiction #1 baper #1 bucin #1 spiritual #1 Islam #2 chicklit #22 roman Naya, Kusuma, dan Ibrahim, adalah tiga sosok manusia yang hidup di rumah kontrakan dengan atap bocor. Di sisi lain ke...