21. Nasi Kotak RM. PADANG

11.7K 2.3K 92
                                    

"Apa saja yang Ibuk kamu suka?"

"Kenapa Tuan bertanya apa yang Ibuk suka?"

"Kamu mungkin memang saya antar pulang ke rumah. Tapi saya 'kan bertamu. Jadi, saya harus bawa sesuatu sebagai buah tangan."

Kening Aim berkerut-kerut. Telunjuknya sok menggaruk dagu. Sudah mirip detektif yang akan menyisir satu persatu petunjuk untuk menyelesaikan sebuah kasus. Herannya, Laksa juga serius menunggu jawaban Aim. Di bangku belakang mobil SUV warna hitam ber-sunroof ini, mereka berdua hening. Seolah sama-sama saling menebak isi pikiran.

"Ahaa!" 

Gelembung penasaran Aim dan Laksa pecah oleh satu petunjuk. Laksa antusias. Terlihat dari mata penasarannya hanya tertuju pada Aim.

"Ibuk suka amplop isi uang dan nasi kotak."

Laksa mengernyit. Jika amplop isi uang, debar hati Laksa mereda. Ia tersenyum jumawa. Itu adalah kelebihan Laksa. Satu prediksi Laksa tak pernah melesat. Semua wanita suka uang. Berapapun, akan ia berikan untuk Naya. Tapi nasi kotak? Berapa kotak nasi yang pantas untuk dijadikan oleh-oleh?

"Isi amplopnya berapa? Nasi kotak isinya apa?"

"Kadang Ibuk dapat 10 ribu, 20 ribu, 50 ribu. Beda-beda tiap hari. Nasi kotak juga sama. Dapatnya satu saja. Lauknya beda-beda. Ibuk cuma senang lihat. Tapi yang makan nasi kotak tetap Aim dan Uma."

Laksa menggeleng. Rasanya senyum jumawa yang sempat ia terbitkan barusan, harus ia tarik kembali. Naya pernah mengambil 500 ribu dari amplop yang Laksa berikan untuk pengobatan waktu itu. Jadi, mana yang Naya suka? 50 ribu atau 500 ribu?

"Tuan mau belikan hadiah apa untuk Ibuk?"

"Kris, nanti kita mampir beli amplop, sama mampir rumah makan Padang juga. Kita harus bawa oleh-oleh untuk Naya."

"Baik, Tuan."

-----------

"Aim?" 

Butuh beberapa detik bagi Naya menyadarkan dirinya sendiri.

"Aim! Ya Allah, Aim!" peluk Naya.

Naya terbangun dari tidurnya di tikar saat Aim mengusap pipi sang ibu. Bagai terpisah ribuan tahun lamanya, mereka kini bisa saling memeluk kembali. Aim sudah besar. Ia sudah 10 tahun. Namun anak itu tak pernah malu jika Naya masih terus menciumi pipi dan keningnya gemas. Termasuk memeluknya dimana pun berada. Aim tahu, bagi Naya, sebesar apapun kelak Aim dan Uma dewasa, mereka tetap akan menjadi anak Naya yang menggemaskan.

Baru sadar penuh ketika Aim sudah melipatkan kain selimut Naya, tanpa aba-aba Naya terperanjat ke belakang. Laksa berdiri di luar bilik kecil berukuran 2 x 4 meter sebagai tempat menunggu, menatap interaksi ibu dan anak itu dengan ... tersenyum. Di tangan kanan Laksa, sudah tertata rapi dalam plastik besar, 4 nasi kotak yang ia beli dari rumah makan Padang besar di pusat kota.

"T-tuan? Ya Allah, maaf Tuan. Masuk ... masuk ... !"

Naya mempersilakan Laksa masuk ke bilik, usai menggeser semua amunisi Naya selama menjaga Mak di sini. 

Info terbaru, meski dalam dua hari kemarin trombosit Mak sempat turun lagi dan harus mendapat transfusi, tadi pagi Naya mendapat kabar jika trombosit Mak mulai naik. Sorak gembira mengalun di hati Naya. Ia akhirnya bisa tidur nyenyak, sembari menunggu kondisi Mak lebih kuat untuk diperbolehkan pulang.

Suasana sedingin es Kutub Selatan yang tak pernah terjamah manusia, tercipta. Naya bingung harus bicara apa. Aim pun sudah terlentang di atas tikar berbantal selimut yang tadi ia lipat. Matanya mengedar memandang taman sekitar. Meski mata Aim masih terjaga, meluruskan punggung adalah tujuan prioritas Aim saat ia bertemu Ibuk.

"Ini. Oleh-oleh untuk kamu. Amplop uang isi 50 ribu dan makanan."

Laksa menyodorkan 4 nasi kotak ke hadapan Naya, dan seamplop berisi uang di atas kotak teratas.

Naya terkekeh. Bukan kekeh meledek. Hanya, semua terasa lucu saja bagi Naya. Mana ada orang menjenguk menyebut berapa nominal uang di dalam amplop? Dalam batin Naya, akhirnya Laksa tahu, berapa nominal pantas untuk menjenguk orang sakit. Tak seperti yang lalu. Laksa seringan itu menitipkan 5 juta sebagai uang jenguk. Lagi-lagi, Naya menggeleng. Menghapus bayangan di kepala. Bukan urusan dia menentukan nominal yang pantas untuk menjenguk. Jika orang tersebut ikhlas, berapapun pantas menurutnya. Hanya saja, terkadang majikan di depannya ini terlewat tak lazim.

"Terimakasih. Saya terima kebaikan, Tuan," ucap Naya, yang sedang ragu antara ingin menyingkirkan kotak makan itu, atau membukanya satu untuk Laksa.

"Kata Aim, kamu hanya suka 1 kotak makan. Tapi saya beli 4 agar kalian semua bisa makan. Termasuk Arini. Kalau Ibuk, saya rasa sudah dapat menu dari rumah sakit bukan?"

Naya mengangguk saja, meski di kepalanya, otak Naya tak sampai jika harus mencerna jenis oleh-oleh macam begini. Biasanya orang membawa buah, atau makanan kering. Tapi, apapun itu, Naya menerima niat baik Laksa. Ia telah berusaha.

"Tuan ... mau makan? Atau ... puasa?"

Laksa menggeleng.

"Oiya, ini masih ada kue kering dari tetangga. Kalau mau teh hangat, saya bisa ambilkan ke kan—"

Bola mata Laksa kini yang membola. Bisa-bisanya ia menuduh Laksa tak berpuasa. Bisa terjun bebas kepercayaan diri Laksa.

"Kamu menyepelekan saya? Saya puasa."

Hampir bangkit, Naya urung setelah mendengar jawaban Laksa. Hati si asisten rumah tangga itu bahagia sangat, jika sang majikan masih menjalankan komitmen yang ia tuturkan kala itu.

"Maksud saya, ada kemudahan bagi seorang musafir untuk tidak puasa, Tuan."

Laksa tahu itu. Ia hanya mengangguk saja. Laksa tak mungkin tak puasa. Selama perjalanan Gunung Jati - Ciamis, ia hanya duduk, tidur, dan mengobrol bersama Aim juga Kris yang menyetir.

"Capek, Buk."

Aim bergelung manja ke pangkuan Naya. Ia kembali menjadi Aim yang manja dan kekanakan. Naya mengusap rambut lurus Aim. Perlahan, hingga ia tertidur dalam keheningan. Laksa juga sejak tadi tak bersuara. Ia hanya merasa damai bisa mempertemukan Aim dengan Naya. Juga sangat damai ketika mendapati dirinya sendiri akhirnya bisa memandang interaksi pujaan hatiny, nyata di depan mata. Sedangkan yang ditatap, hanya bisa menunduk melihat wajah sang anak, lantaran takut hatinya goyah.

"Tuan katanya masih pagi berangkat dari Gunung Jatinya? Ini kenapa masih jam segini sudah sampai, Tuan?"

"Kami berangkat tadi malam. Agar Aim tertidur saja di mobil. Dia akan lelah kalau tidak tidur." Laksa terkekeh. "Tapi ternyata, sudah tidur pun masih mengeluh lelah juga."

Naya membalas tawa Laksa. Benar juga. Terakhir Aim ke Ciamis saat usia 5 tahun. Itu pun naik bus antarkota antarprovinsi, bukan mobil pribadi.

Pasti anak ini lelah. Layaknya Uma. Yang lupa Naya pikirkan adalah, Laksa lelah tidak? Sontak mata Naya mengedar kemana-mana. Akan ditaruh mana majikan kayanya ini? Tidak mungkin di rumah Naya. Tak mungkin juga di rumah Hasbi. Bisa perang dunia ketiga jika Laksa tahu Hasbi sedang dalam keinginan akan melamar Naya.

"T-tuan mau istirahat dimana? Saya nggak bisa memberi tempat. Kami perempuan semua," tutur Naya sejujurnya.

"Saya di sini dulu. Temani kamu. Saya mau bertemu Mak juga. Nanti malam, saya dan Kris bisa mencari hotel terdekat."

------------

🥰🥰🥰🥰 Pageeeee ... 
Alhamdulillah Laksa Naya akhirnya masuk di deretan populer. Astagah Mak terharu sama kalian.. Makacihhh. Dukung Mak terus ya pake share vote komennya. 🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴 

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang