Naya kembali.
Dada Naya berdebar. Becak yang ia naiki semakin dekat menuju rumah masa kecilnya dulu.
Sejak menikah dengan Ndaru, Naya baru tiga kali ini pulang kampung. Ia dan Ndaru jarang cukup punya bekal untuk naik bus pulang pergi Gunung Jati - Ciamis. Ndaru hanya guru ngaji. Tak pernah sekalipun menetapkan tarif dasar jasa ceramahnya. Di samping mengajar, Ndaru serabutan yang penting mencari nafkah halal. Sedangkan ilmu Ndaru, ia tak ingin menggadainya untuk uang.
Mereka hanya punya sedikit uang untuk sedekah dari penghasilan Ndaru. Apalagi untuk mudik? Tak ada. Maka dari itu, ilmu adalah harta terbesar yang Ndaru punya, untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya bekal akhirat. Ia sedekah ilmu. Semoga kini, Ndaru sedang berkumpul dengan amalan jariyah yang Ndaru tabung semasa hidupnya dulu.
Rumah di ujung Ciamis, dengan beberapa dinding telah rusak akibat gempa bermagnitudo 4,7 mengguncang Jawa Barat dua tahun lalu, mulai terlihat. Halaman rumah masih cukup luas, ditumbuhi rumput gajah dengan berbagai bunga hias yang ditanam asal oleh Arini.
Naya dan Uma datang berbekal koper kecil, yang diletakkan di pijakan kaki becak. Isi kotak makan Naya telah tandas, menjadi bagian Uma untuk membawa plastiknya. Sedangkan Naya, kebagian membawa koper dan sekardus kue bolu coklat untuk oleh-oleh, yang ia buat sendiri malam sebelumnya, menggunakan oven Bu Sukma.
Arini menyambut Naya di teras rumah. Ia berdiri ketika becak Naya memasuki halaman.
"Bibii ... !" teriak Uma. "Uma naik becak ... !!"
-----------
Tujuan utama Naya begitu memasuki rumah adalah kamar Mak. Terbaring di sana Mak yang telah renta, kesulitan berjalan karena kaki sudah osteoporosis.
Mak tersenyum sumringah. Anak sulungnya kembali. Makin lebar senyumnya, ketika Naya mencium tangan dan mengecup kening Mak. Tambah tak terbendung kebahagiaan Mak, ketika Uma naik di atas ranjang Mak dan memeluk Nininya.
"Mak, Naya minta maaf. Naya baru pulang lagi. Mak sakit apa?" Naya mengangkat kepala. Menatap penuh tanya pada Arini yang berdiri di samping Naya. "Rin, kata dokter gimana?"
"Kata Dokter Putri harus dibawa ke rumah sakit, Teh. Tapi Mak nggak mau. Tungguin Teteh pulang katanya."
Mak hanya diam. Ibu usia 60 tahun itu tak lagi punya daya karena mual yang bergejolak di perut. Sudah sulit jalan, badan meriang, ditambah mual tak berkesudahan.
"Kamu siapin BPJS dan surat-suratnya ya, Rin. Sekalian ke rumah A' Hasbi. Siapa tahu A' Hasbi bisa bantuin kita."
"Mak ... kangen ... Nay."
Terpatah, Mak mengungkapkan perasaannya. Rindu ibu pada anaknya tak bertepi. Mau tinggal dekat atau jauh, mau sudah bersuami atau belum, Mak tetaplah ibu yang melahirkan Naya. Merawatnya sejak Naya masih bayi tak berdaya, hingga menjadi seorang ibu dari anak yang sungguh manis. Mak melihat wajah kecil Naya di wajah Uma. Seketika kilasan balik Mak akan masa ia masih menggendong Naya, kembali berputar. Genggaman Mak di tangan Naya mengerat. Naya membalas kode sang ibu. Memberi kekuatan agar Mak mau bertahan dan sembuh untuk Naya, juga Arini.
"Iya, Mak. Naya juga kangen. Uma? Sudah salim sama Nini?"
Uma mengangguk. Ia terlentang di ujung ranjang. Bergelung di bawah kaki Nini. Pandangan Uma menatap langit-langit. Mungkin badan Uma terasa remuk-redam duduk setengah hari di bus.
"Tadi di bus, Uma udah doain Nini. Nini harus sembuh. Abang katanya juga udah doain Nini," celetuk Uma.
"Abang ... mana ... ?"
"Abang Aim nggak ikut, Mak. Naya titipkan di majikan Naya. Majikan Naya sedang mau belajar mengaji sama Abang. Mereka orang baik, Mak," info Naya pada Mak. Mak mengangguk lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pungguk Memeluk Bulan (FULL)
Spiritual[Juara Utama 1 Lomba Menulis KBM APP Ramadhan 2021] #1 generalfiction #1 baper #1 bucin #1 spiritual #1 Islam #2 chicklit #22 roman Naya, Kusuma, dan Ibrahim, adalah tiga sosok manusia yang hidup di rumah kontrakan dengan atap bocor. Di sisi lain ke...