"Kamu pendiam. Sejak dari alun-alun kemarin, makin pendiam lagi. Ada apa?"
Laksa bertanya ketika Naya sedang menyiapkan lauk makan malam ke meja.
Ia menangkap ada hal ganjal terjadi pada istrinya. Sikap Naya biasa saja. Hanya mulutnya sekarang seolah terkunci rapat. Naya menyiapkan segala keperluan Laksa. Baju, makan, menemani tidur, pun interaksi dengan anak-anak tak ada yang berubah. Naya masih secerah biasanya. Kecuali, pada Laksa. Ia diam seribu bahasa.
"Sungguh malam begitu kelam. Pendar bulan tak nampak bagai purnama."
Naya melengos. Bu Sukma dan kedua anak yang baru menggeser bangku, mematung. Tak pernah Bu Sukma melihat Laksa yang tiap harinya memasang muka datar, kini bagai pujangga sedang melakukan kontes puisi di meja makan.
Pipi Naya kian merah.
"Saya ambil ayam gorengnya dulu."
Belum sempat kabur, tangan lembut sang tukang masak istimewa ditahan oleh mantan majikan tercinta.
"Jika diri ini tak kuasa membelah tebing amarahmu, bolehkah aku membawa tiga saksi untuk sekadar menopang kegundahanku?"
Aim, Uma dan Bu Sukma saling pandang. Kening mereka tak jauh beda dengan kulit jeruk yang tersaji di ujung meja. Berkerut-kerut. Mereka bagai melihat adegan tokoh teater tema cinta, yang sedang tarik-tarikan tangan. 3 saksi? Apa ini maksudnya mereka bertiga?
"Lepas, Mas. Saya ambilkan ayam goreng dulu."
Laksa tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya, Naya bicara padanya.
"Kamu kenapa sih, Sa? Aneh."
"Di tempat proyek Bapak ada tebing?" tanya Uma.
"Atau Bapak sekolah lagi? Itu seperti puisi, Ma, Nek. Bapak sedang berpuisi," imbuh Aim.
Laksa meringis kuda melihat tiga penonton berdebat.
Sekembali Naya ke meja makan, terjadi kembali bombardir kalimat puitis sarat makna tersirat, yang hanya dipahami oleh dua insan yang sedang berseteru.
Nasi di piring tandas. Nenek Sukma segera mengajak Aim dan Uma kabur. Telinga mereka pengang mendengar Laksa berbicara makin tak jelas.
"Sudah dimaafkan. Cukup ya, Mas. Naya kenyang mendengar Mas bicara seperti itu."
Kelegaan menghampiri relung hati Laksa.
"Bagus! Asal jangan kenyang rasa cintaku untuk kamu ya, Ya? Karena akan aku beri sampai aku mati."
Naya memutar bola mata jengah. Piring kotor yang telah ia tumpuk, Naya letakkan lagi di meja. Sekadar ingin meladeni Laksa. Naya yang ratunya sabar, perlahan mulai kehilangan kesabarannya.
"Iya. Tidak akan bosan. Asal hanya untuk saya saja. Jangan beri seujung kuku pun untuk wanita lain. Apalagi, si pencari bangku."
Kini Laksa yang mematung. Ia cukup terkejut mendengar Naya yang mendadak bicara selugas ini. Laksa makin girang. Tak pernah sekalipun mendapati istrinya yang begitu transparan menunjukkan kecemburuan.
"Ah ternyata, bulan purnamaku sedang menyimpan cemburu?"
Naya berbalik membelakangi sang penggoda. Tangan Naya bersidekap. Ia merajuk.
Sungguh, tak ada yang rela dan ikhlas menonton adegan teater meja makan ini, meski digratiskan. Seorang Rustini yang akan membantu Naya membawa piring kotor, berbalik kembali ke dapur. Ingin muntah mendengar rayuan tingkat dewa si majikan. Pantas saja Naya takluk. Dibalik sifat garang pria itu, ada sisi selembut permen kapas harum manis, kriteria dambaan seorang Nayarra. Sebentar lagi, grup WhatsApp baru rahasia —dimana tak ada akun Laksa di sana— akan mulai ramai kembali membaca laporan Rustini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pungguk Memeluk Bulan (FULL)
Spiritual[Juara Utama 1 Lomba Menulis KBM APP Ramadhan 2021] #1 generalfiction #1 baper #1 bucin #1 spiritual #1 Islam #2 chicklit #22 roman Naya, Kusuma, dan Ibrahim, adalah tiga sosok manusia yang hidup di rumah kontrakan dengan atap bocor. Di sisi lain ke...