Hafal berjuz-juz Al-Qur'an? Tanda silang. Laksa pernah hafal juz 30 saat sekolah dulu. Namun, Wein telah membuat ingatan Laksa lupa.
Rajin sholat dan puasa? Tanda silang. Ia baru memulai rutinitas itu lagi di Ramadhan tahun ini. Semoga Allah tak menghanguskan pahala ibadah Laksa sebelum menjadi pria bobrok kemarin.
Jadi ustadz? Dobel tanda silang. Boro-boro ustadz. Buruh Laksa saja berdecih dalam hati jika Laksa mulai sok bernasehat kebaikan. Terang saja. Ia bernasehat sembari enak-enak makan siang di depan orang berpuasa.
Laksa benar-benar makhluk mengenaskan miskin modal, dalam menggapai cinta Naya. Laksa hanya punya harta, tanah, dan segala materi yang bisa Laksa beli dengan alat tukar uang.
Bukan mau menjadi pria licik. Namun, bukankah Laksa yang hanya bermodal harta, akan lebih baik jika menggunakan harta itu untuk jalan kebaikan?
Orang bilang menjadi miskin tak diperdaya harta, adalah kemuliaan. Lebih mulia lagi, jika dia kaya dan menyebar harta untuk tabungan akhiratnya. Membantu lebih banyak orang miskin.
Wallahu a'lam bishawab.
-------
Usai momen haru di sebuah lokasi proyek belum jadi, Laksa mengomando si guru ngaji kecil dan dua anggota keluarganya agar menuju jalan utama lebih dulu. Menemui Kris. Mobil telah menunggu di sana. Naya tak boleh berlama-lama diculik. Bisa-bisa akan ada demo buruh minta makan, nanti sore.
Baru saja memikirkan demo buruh saja, Laksa bergidik ngeri. Tiba-tiba, satu kengerian kedua datang. Merusak momen indah Laksa hari ini.
Wina dan suaminya.
Mereka datang ketika Laksa masih harus menyampaikan beberapa perintah ke buruh tentang apa yang mereka dengar dan saksikan hari ini. Berita tentang Laksa membeli tanah seharga 10 ribu dari calon anak lelakinya, tak boleh keluar sama sekali. Selain di lingkup keluarga Laksa. Laksa memikirkan apa yang Naya pikirkan. Ia tak ingin orang lain menghakimi Naya sebelum Laksa benar bisa melindungi Naya dalam dekapan pria itu.
"Hai, Sa. Apakabar? Ini Mas Pras. Suamiku."
Wanita itu bergelayut manja pada sang suami dengan tangan kanan. Di lengan kirinya menggantung tas kulit impor buatan desainer Itali warna merah muda.
Masih diselimuti sisa-sisa emosi, Laksa tetap harus menjaga image. Jangan sampai ia terperangkap kata-kata Wina. Termasuk terlihat terpuruk di depan Wina yang telah bahagia dengan seorang pengusaha kebun sawit asal Kalimantan.
Penuh senyum, Laksa menjabat tangan Pras. "Laksa. Mantan tunangan Wina ... dulu."
Manik Pras sempat membola. Sekejap saja, hingga akhirnya mampu menguasai diri lagi. Ia membalas uluran tangan Laksa. "Pras."
Laksa tak kaget. Wina pasti tidak pernah menceritakan pengalaman cinta sebelumnya yang berjalan selama 4 tahun lamanya pada Pras. Ia benar-benar membuang Laksa. Bahkan tidak untuk menjadi kisah sejarah di masa lalu Wina.
"Maaf. Ada yang bisa saya bantu? Saya pikir main ke lokasi seperti ini bukan kesukaan Wina. Kecuali, jika dia mau dibelikan rumah."
Wina tersenyum kecut pada Laksa. Berubah menjadi manis ketika ia menatap suami yang pernah membuat Wina meninggalkan Laksa.
"Ah iya. Benar. Aku mau beli rumah di sini, Sa. Mungkin 3 petak dijadikan satu. Buat singgah kalau Lebaran aku mudik ke sini. Suamiku di tempat Ibu agak kurang nyaman."
Laksa mengangguk. Memanggil Kus tanpa menoleh ke belakang lagi.
"Kus. Carikan tanah 3 petak di blok S untuk Tuan dan Nyonya ini!"
"Baik, Tuan."
Wina bergeming. Pasang mata yang tertempel bulu mata anti puting beliung itu, masih mengedar di sekitaran blok D ini. Mata Wina terkunci ke satu tanah besar milik seorang pemilik baru.
"Yang di belakangmu itu udah ada yang beli? Letaknya strategis."
"Sudah. Cari yang lain."
"Sayang, yang ini letaknya bagus. Di tengah-tengah. Nggak jauh dari gerbang utama juga."
Sekilas diamati, Pras adalah pria pintar, kaya raya, yang punya nasib tak beruntung. Entah resep rayuan apa yang Wina pakai hingga suaminya kini tampak bagai budak cinta. Ia menurut saja apa yang Wina ingin. Mungkin ini yang membuat Wina lebih memilih Pras alih-alih Laksa. Laksa tak bisa menuruti segala keinginan Wina yang kadang kelewat batas. Wina tak jauh beda dengan Wein. Memabukkan, menggoda ... namun, juga merusak.
"Tidak ingin dilelang? Saya bisa bayar tiga kali lipat dari harga pembeli pertama!" sombongnya.
Laksa tak tahan untuk tak terbahak. Dia hanya akan melelang senilai 30 ribu? Andai pria ini tahu, tanah ini penentu segala-galanya masa depan Laksa.
"Tidak. Ini tanah khusus. Sudah dipesan sebagai hadiah untuk seseorang."
-----------
"Yakin, tidak mau diantar sampai Ciamis?"
Laksa, Kris dan Aim mengantar Uma dan Naya ke terminal bus induk Gunung Jati. Hati Naya sedikit tenang karena uang tiket bus, uang jalan dan gaji bulan ini telah dibayarkan oleh Bu Sukma. Yang membuat Naya tak sempurna tenang adalah ia harus meninggalkan Aim sendiri di sini. Anak 10 tahun yang berani mengambil perjanjian dengan seorang pria dewasa agar diajari mengaji.
Naya menggeleng. Penuh ragu, Naya melangkah perlahan dari parkiran mobil menuju tempat penumpang menunggu. Berat meninggalkan Aim yang kini ada di rangkulan Naya.
"Nggak, Tuan. Saya titip Aim saja. Tolong jaga Aim."
Laksa yang berjalan di samping Naya, mendorong koper, mengangguk mantap. Bagaimana tidak dijaga? Aim salah satu berlian yang kelak akan Laksa punya juga jika ia meminang Naya.
"Iya. Pasti. Nanti Aim dan saya akan sering telepon nomor HP-nya Arini."
"Iya, Buk. Tenang aja. Aim berani kok," jawab Aim penuh kepercayaan diri.
"Nggak boleh nakal ya, Im."
"Iya, Ibuk."
Selama lima belas menit menunggu bus berangkat, Naya tak melepas tubuh Aim dari rangkulannya. Ini kali pertama ia menitipkan Aim pada keluarga seseorang. Pun orang asing, meski kini terasa dekat. Pun untuk waktu yang berlangsung lama. Satu minggu bagi Naya akan serasa seabad.
Klakson bus terdengar.
Tanda jika Naya harus melepas Aim pada Laksa. Menaiki bus, Naya diantar Laksa. Pria besar itu bahkan menggendong Uma hingga ke atas. Ia mencium gemas kening calon anak gadisnya. Sampai menemukan bangku tempat Naya dan Uma duduk. Naya masih memangku plastik kresek putih berisi kotak makan isi dua porsi nasi lauk ayam goreng dan dua botol teh kemasan, untuk berbuka puasa di jalan.
Penuh syahdu, Naya menatap Laksa dari bangku. Apa pria ini bisa diberi kepercayaan? Ini yang Naya titipkan bukan barang. Aim lebih dari segala-galanya harta di dunia ini bagi Naya. Setetes air mata jatuh. Naya mengusap kasar mata bening yang telah berkaca itu. Teduhnya manik Laksa mengerti kepedihan Naya.
Laksa menghela nafas. Berjongkok di depan bangku paling depan. Sedikit mendongak hingga menemukan titik pandang Naya. Beruntung tak ada orang lalu lalang yang terganggu dengan keberadaan Laksa.
"Percaya sama saya ya, Ya? Saya akan jaga Aim. Jangan khawatir."
Naya mengangguk.
"Titip salam untuk Mak. Dari saya dan Ibu. Sampai rumah, kamu bisa telepon kami dengan HP Arini. Nanti di jalan pulang, saya isikan pulsanya."
Naya mengangguk lagi. Anggukan terakhir sebelum kernet mengarahkan Laksa agar turun.
"Hati-hati di jalan, Naya, Uma."
--------------
🤗🤗🤗💓💗💞💖❣️🌵🌲🌱🌿🍃☘️🍀🌴🌳semoga tulisanku jadi amal jariyah kekal sampai nanti. Aamiinn. Boleh lho kl mau komen saran-saran kl ada yg salah soal agama. Aku juga masih miskin ilmunya.
![](https://img.wattpad.com/cover/265998514-288-k81026.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pungguk Memeluk Bulan (FULL)
Spiritual[Juara Utama 1 Lomba Menulis KBM APP Ramadhan 2021] #1 generalfiction #1 baper #1 bucin #1 spiritual #1 Islam #2 chicklit #22 roman Naya, Kusuma, dan Ibrahim, adalah tiga sosok manusia yang hidup di rumah kontrakan dengan atap bocor. Di sisi lain ke...