39. Sedang Tak Ingin Makan

10.9K 2.1K 80
                                    

Laksa tak sendirian. Selain banyak malaikat menyertainya, orang-orang pesantren yang belakangan banyak berinteraksi dengan Laksa, beriringan membawa Laksa ke rumah sakit.

Hasbi meremas rambutnya frustasi. Apa yang dokter jelaskan padanya, cukup membuat ketakutan Hasbi sampai pada tingkat titik tertinggi. Tak pelak dengan Kris dan para buruh. Sejak tadi, debaran kengerian terus bercokol di hati masing-masing. Beberapa yang bertahan di pesantren, sibuk berkabar dengan keluarga yang berada di Gunung Jati. Kris dengan tangan bergetar, mencoba menghubungi Bu Sukma dan Naya.

"T-tuan L-laksa jatuh, Bu, Mbak Nay. D-dari lantai dua masjid."

Naya langsung pingsan mendengar suara Kris di ponsel Bu Sukma yang disetel loudspeaker. Tubuh Naya seolah tidak ingin mendengar kabar mengerikan seperti ini, untuk kedua kalinya.

Dalam beberapa jam, mereka telah berada di mobil menuju Ciamis, dalam keadaan Naya masih belum sadarkan diri. 

Laksa mengalami cedera kepala dan tulang belakang. Ada perdarahan di dalam kepala. Alat pelindung diri yang Laksa pakai, bahkan tak sanggup menahan kerasnya benturan kepala terhadap ubin. Pun cedera tulang belakang tak bisa dianggap remeh. Kemungkinan terburuk adalah nyawa Laksa tak terselamatkan. Atau, ia tak akan sadar. Prediksi lumpuh total juga menghantui setiap kerabat yang mendengar penjelasan dokter kala itu.

Sesegera mungkin Hasbi, Kris, dan semua orang baik di sana, membantu mengurus segala syarat dilakukannya operasi, agar Laksa cepat terselamatkan.

"T-tuan sudah masuk r-ruang operasi, Bu. Mohon do'anya."

Kris menghubungi untuk kesekian kali. Memberi informasi terbaru. Tangis Bu Sukma dan Naya pecah di dalam mobil. Bu Sukma dan Naya pasti akan mendo'akan untuk kebaikan lelaki berbudi dan kesayangan keduanya ini.

Beruntung, tubuh Naya kini lebih kuat menahan kesadaran, agar tak pingsan lagi. Sesenggukan dari tangis Naya juga tak memberisiki seisi mobil. Naya menangis dalam diam. Hanya saja, tarikan nafasnya terlihat begitu dalam. Cukup menunjukkan jika di dalam hatinya, tengah menganga sebuah luka besar yang begitu menyakitkan. Lagi, separuh hati Naya harus berjuang dengan maut.

Aim tampak kuat. Sejak dari rumah dan mendapati ibunya pingsan, Aim hanya diam. Tak sepatah kata terucap. Anak itu menyembunyikan luka sedemikian baiknya. Sedangkan Uma, ia terus menangis dalam pelukan sang nenek. Hingga sampai di titik lelahnya. Lantas, jatuh tertidur selama dalam perjalanan.

--------------

"Kalau kamu sedang tinggi hati, lihatlah langit. Setinggi-tingginya kesombongan yang kamu punya, seketika akan menciut. Kita ini hanya kurcaci rendah yang bahkan tak bisa menggapai langit pertama, dengan sendirinya. Pun nyatanya manusia bisa menciptakan pesawat. Itu hanya di langit pertama. Langit kita ada 7 tingkatan, Ya."

Naya menatap nanar birunya langit yang terbentang di luar sana. Dari jendela kecil di sebelah ranjang pasien ICU. Langit begitu cerah pagi ini. Tak seburam kabut kesedihan yang sedang menyelimuti hati para penunggu pasien di sini. Termasuk, Naya.

"Jika kamu sedang ingin pamer kekayaan, lihatlah langit. Kita dan segala yang kita punya, hanya sebutir pasir dibandingkan besarnya alam semesta ini. Apa artinya, jika kita hanya meninggalkannya di dunia dan tak membawa sepeserpun ke akhirat. Hidup kita kekal di sana, Ya."

Berbulir air mata mengalir deras di atas genggaman Naya pada jemari Laksa. Kalimat demi kalimat yang Laksa tuturkan, saat Naya dulu menanyakan mengapa ia begitu dermawan, kembali terngiang di kepala.

Naya baru tahu alasan Laksa menyukai langit. Kini, langit mengingatkannya akan hal berbeda. Alih-alih ingin mengadu, justru belakangan, langit mengingatkannya pada Laksa yang sedang jauh. Naya pikir Laksa hanya suka bulan. Jika Naya suka langit sebagai teman menjernihkan pikiran, Laksa menjadikan langit sebagai pengingat. Agar ia tetap rendah hati dan terus berbuat baik untuk bekal akhiratnya.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang