s a t u

3.8K 237 4
                                    

"Killa Cendana." Gadis bersurai panjang itu mendekati meja resepsionis. Membaca beberapa ketentuan dan membubuhkan tanda tangannya sebelum memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah.

"Terimakasih." Ucapnya saat menerima kantung berisi obat obatan.

Obat maag dan beberapa obat lainnya.

Ia benci saat ia sakit seperti ini. Tak ada yang bisa ia lakukan selain tidur, ya kecuali ke puskesmas sendiri.

"Panas banget lagi." Keluh Killa. Ia menatap hamparan langit biru di atas sana.

"Minta jemput Jeffri kali ya." Killa duduk di kursi yang ada di depan puskesmas. Saat ini puskesmas yang sedang ia datangi tak terlalu ramai. Syukur lah, ia tak harus berdesakan dan antri.

"Jeff di mana?" Senyum kecil di bibir pucat killa menandakan jika ia sedang di mabuk cinta. Ya walau ia dan laki laki bernama Jeffri itu sudah berpasangan sekitar 2 tahunan namun ia tetap saja bucin pada laki laki berlesung Pipit itu.

"Aku di kampus."

"Sibuk ya?" Sebrang sana tampak ramai. Tampaknya Jeffri benar benar sibuk. Killa menurunkan senyumnya.

"Ya udah kalo gitu.. jangan terlalu cape ya.. kalo udah jam istirahat mak-"

"Iyaa iyaa bawel kamu." Potong Jeffri dengan nada yang cukup jenaka. Killa terkekeh.

"Ya udah.. byee." Panggilan terputus. Killa menghela nafas. Terpaksa ia jalan menuju ke apartemen yang tak jauh dari puskesmas.

Walau tak jauh namun tetap saja jalan dengan kondisi kepala pusing dan batuk pilek tak mudah bagi Killa.

Killa berjalan dengan sesekali bersenandung agar memendam denyut kepalanya yang cukup mengganggu. Apa lagi penciumannya yang tak berfungsi.

Pukul 3 sore. Keadaan jalan cukup ramai. Beberapa bahkan tampak sedang jogging sore. Andai ia tak sakit, mungkin saat ini ia sudah ke cafe dan melihat berapa banyak pelanggan nya hari ini.

Killa mempunyai cafe yang ia kelola sendiri. Ya walau awalnya ayahnya lah yang mengelola, namun saat cafe itu berumur 1 tahun tangan kepemilikan di pindahkan untuk killa.

Membuka pintu apartemen nya, ia pun di kejutkan oleh kedatangan kedua orang tuanya.

Bunda nya berkacak pinggang menatap Killa garang.

"Kan sakit lagi.." ucapnya dengan nada mengintimidasi. Killa menurunkan topi Hoodie nya dan menarik ingusnya sekuat tenaga.

"Barusan sehat Bun." Jelas ucapannya tak di percaya oleh bunda nya itu. Dengan mendengar suaranya saja sudah pasti mengetahui jika dia sedang sakit.

"Kan bunda udah bilang.. mending tinggal di rumah aja." Bunda nya itu mendekat, ia menepuk pelan kepala anaknya yang cukup keras kepala.

"Baru dua kali Bun." Sang bunda menatap tajam Killa.

"Tetep aja buat bunda khawatir." Killa mengangguk kecil dan menunduk. Sebelum itu ia menatap sang ayah yang dengan santai membaca koran yang entah ayahnya dapat dari mana.

" Ya udah tidur aja kamu.. udah makan belum?" Killa menggeleng.

Bunda nya itu mendorong tubuh gadis itu untuk menuju kamar nya.

"Bunda masakin bubur ya. Ntar kamu makan terus minum obat."

Killa hanya mengangguk. Ia pun membaringkan tubuhnya kepalanya masih berdenyut. Ia bahkan ingin sekali memejamkan matanya saking sakit nya.

Mungkin tidur sebentar tak mengapa. Lagian bundanya bisa memanggil nya untuk bangun.

°°

Killa membuka matanya. Ia cukup terkejut dengan kamarnya yang sudah gelap. Ia pun bergegas mengecek ponselnya. Jam berapa sekarang.

7.20  malam

Selama itu kah ia tertidur??

Dimana bundanya? Kenapa ia tak membangunkan Killa?

Ia pun berdiri dengan sedikit sempoyongan.

Dimana ayah dan bundanya?

Ia jelas sekali melihat ayah bundanya sebelum ia tidur. Tak mungkin ia halusinasi. Bahkan tepukan sang bunda masih dapat Killa rasakan.

Ia pun menuju dapur, di sana terdapat satu Tupperware berwarna biru yang tertutup dan di atasnya terdapat note.

'bunda ke rumah sakit, temen bunda tiba tiba masuk rumah sakit. Kamu makan ini ya, panasin aja buburnya ya. Jangan lupa minum obat. Bunda langsung pulang aja. Pintu jangan lupa kamu cek bunda ga paham sama pintu kamu soalnya.'

Killa terkekeh kecil. Walau sering menyebalkan namun tak ada yang bisa menggantikan sosok bunda. Sosok pahlawan sebenarnya.

Killa membuka Tupperware itu. ia merindukan masakan bundanya.

###

"Aku mohon fir.. " wanita paruh baya itu menggenggam erat wanita berhijab yang menatapnya dengan air mata yang mengalir.

"Nggak ada yang bisa jaga anak ku lagi setelah ini fir." Fira nama wanita paruh baya dengan hijab kream.

Fira menggeleng.

"Kamu jangan ngomong gitu win. Kamu pasti sehat lagi." Winda, perempuan yang saat ini terbaring lemah di atas Tempat tidur pasien dengan beberapa selang untuk membantunya bernafas itu sebisa mungkin menahan isaknya.

"Ga ada waktu untuk aku fir. Paru paru aku udah ga normal. Aku ga akan bisa nafas tanpa alat bantu. Pasti.. pasti dimas akan tanya kenapa aku ga bisa ikut dia main." Sambil terisak wanita itu menjelaskan. Fira menunduk.

"Jadi aku mohon fir.. nikahkan Dimas dan Killa. Aku cuma mau liat dimas pake baju pengantin. Hanya itu." Fira menangis. Ia pun tak lama mengangguk ia mengelus pelan kepala sahabatnya itu dengan lembut.

"Aku coba bilang Killa ya." Winda mengangguk semangat.

"Makasih fir makasih.." tak ada keinginan yang lebih besar dari ini. Ia sangat ingin melihat anak satu satunya itu memakai baju pengantin dan dengan gagah mengucapkan ijab kabul.

"Ya Allah, jangan panggil aku sebelum aku lihat anak ku yang tampan itu meminang gadis yang ia sukai." Doanya setiap hari.

**

Fira menatap laki laki dengan baju berwarna merah terang yang saat ini memeluk boneka dolphin nya dengan tatapan lembut.

"Dimas.." panggilnya lembut. Laki laki itu menatap Fira dengan tatapan bingung.

Ia mengusap matanya.

"Jangan nangis." Ucapnya sambil menatap Fira. Fira yang di tegur seperti itu pun mengelap air matanya dan tersenyum.

"Tante sama om anter pulang mau?" Dimas menggeleng. Ia menggigit kukunya dan tatapan nya menatap sekitar.

"Nggak.. mama di sana." Tunjuk nya pada ruangan di depan nya.

"Iya.. mama ga bisa pulang hari ini. Katanya ada kerjaan." Dimas menggeleng. Ia kembali menunjuk pintu ruangan sang ibu.

"Tapi ini bukan kantor mama." Fira memalingkan wajahnya. Tangis yang ia tahan akhirnya runtuh. Wajah polos dan tatapan tulus yang selalu di pancarkan dimas membuat Fira tak bisa menahan tangis.

"Aku.. aku mau nunggu mama." Bima, suami Fira yang sedari diam itu pun menatap dimas dengan lembut. Menampilkan senyum ramahnya ia pun mengelus kepala dimas lembut.

"Pulang yuk.. om ntar beliin susu. Mau rasa apa?" Mendengar Bima menyebutkan minuman kesukaannya membuat dimas menatap Bima dengan senyum bahagianya.

"Aku mau susu coklat."

Ya sangat mudah membujuk Dimas.

Dia dimas, laki laki lembut, tulus dan polos. Senyumnya mampu membuat siapa saja ikut tersenyum. Boneka dolphin nya selalu ia peluk, begitu lucu.

Dimas Yoga Adinata, laki laki berumur 26 tahun yang mengidap autisme sedari ia kecil.

###

My Autisme Husband|| DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang