24

1.1K 129 4
                                    

Seharian Dimas berada di ruang rawat inap Killa. Sesekali ia menatap wajah Killa yang entah sepucat apa ia sampai sampai dokter menyuruhnya memakai selang infus.

Padahal Killa tak apa, ia sudah sering merasakan ini. Tapi entahlah dokter bilang keadaannya cukup memprihatinkan.

Killa menutup matanya pelan. Denyutan di kepalanya masih ada, namun tak sesakit kemarin yang mampu membuatnya sampai tak bisa berdiri dengan benar.

Tangan itu di genggam erat oleh seseorang yang sedari tadi berada di sebelahnya.

"Killa mau buah?" Tanyanya pada Killa yang menatapnya dengan senyum kecil.

Gadis itu hanya mengangguk kecil. Badannya ia senderkan ke kepala ranjang rumah sakit itu. Menatap Dimas yang tengah fokus membuka satu jeruk dengan tangannya.

Hari ini pemakaman mama Winda. Killa tak di bolehkan keluar sekarang ini oleh dokter, Killa harus banyak istirahat. Hal itu membuatnya harus diam di kamar rumah sakit ini di saat orang orang mengantarkan mama Winda ke tempat terakhirnya.

Di tatapnya Dimas dengan lekat. Dimas sedari tadi tak menangis. Namun tangan itu selalu bergetar setiap saat.

Hatinya masih sakit.

Ia juga tak mau ikut ke pemakaman dan memilih menunggu Killa di kamar.

Di genggamnya tangan besar milik Dimas. Laki laki itu menatap Killa dengan tanya.

"Ga mau jeruk?"tanya nya penuh kepolosan. Dimas mengembalikan jeruk itu ke tempat buah di sebelahnya dan menukarnya dengan apel yang siap ia kupas menggunakannya pisau.

Killa menggeleng.

"Ngga, ga papa biar Killa kupas sendiri." Killa tau Dimas tak bisa memakai pisau. Ini membuatnya cukup khawatir dengan itu.

"Dimas aja." Laki laki itu sampai berdiri dan menjauh dari Killa agar ia bisa mengupas apel itu sendiri.

Padahal cara pegangannya saja sudah salah. Bagaimana bisa mengupas apel dengan pegangan tangan yang salah?

"Nanti luka." Killa hendak turun menuju Dimas namun Dimas malah makin menjauh. Ia tetap kekeuh ingin mengupas sendiri.

Sett.

"Akhhh."

Killa menghela nafas. Sudah ia duga kejadian ini akan terjadi.

Pisau buah itu mengenai telunjuk tangan kirinya. Apel dan juga pisau itu sudah jatuh ke lantai dengan beberapa tetes darah yang juga jatuh.

Killa mengambil beberapa tisu dan mendekat pada Dimas yang menghisap luka nya agar tak banyak darah yang jatuh mengotori lantai.

"Jangan di hisap darahnya." Peringatan itu di keluarkan dengan nada yang cukup tegas mampu membuat Dimas menurutinya dalam diam.

Killa mengambilnya dengan lembut. Dimas juga hanya diam saat tangannya di tarik menuju ranjang rumah sakit itu. Di dudukannya Dimas di situ, di lihat betapa susahnya Killa berjalan dengan membawa tiang infus, Dimas berinisiatif merebut tiang infusnya untuk ia pegang agar Killa leluasa berjalan.

Killa berdiri di depan Dimas yang menatap nya dalam diam. Wajahnya polos.

Killa sampai terkekeh kecil betapa polosnya tatapan Dimas.

Laki laki itu hanya memperhatikan bagaimana Killa mencoba menahan darah yang selalu menetes.

"Dimas ikutin Killa." Gadis itu mengangkat tinggi tangan kirinya dengan telunjuk yang mengacung. Hal ini untuk memberhentikan pendarahan. Luka Dimas cukup dalam mungkin darahnya akan cukup lama berhenti.

My Autisme Husband|| DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang