ᴊᴀʜᴀᴅ || ᴘᴀɪɴᴛɪɴɢ

2.1K 221 22
                                    

➵➵➵➵➵➵➵❂➵➵➵➵➵➵➵

-----------------------------------------------------------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-----------------------------------------------------------

"Cause time wasn't in our favor. This isn't goodbye, this is simply see you later."

-----------------------------------------------------------

"Maaf."

Sepasang mata oranye itu menatap miliknya. [Name] bertanya-tanya, bagaimana bisa Jahad masih terlihat seperti lukisan karya seniman ternama walau banyak kekacauan yang sudah terjadi selama ini?

"Maaf untuk apa?"

Jahad menekan bibirnya hingga menjadi garis tipis. Setelah apa yang terjadi, apa dia pantas mengatakannya?

"Aku baru menyadarinya," Jahad tersenyum tipis. Sangat tipis hingga [Name] tidak menyadarinya. "Kau yang selalu ada bersamaku, dan aku tidak pernah melihatmu."

[Name] mengalihkan pandangannya dari Jahad dan menatap sekeliling. Saat ini mereka sedang berada di Lantai 134 Menara, di peraduan Sang Raja.

[Name] mengingat kembali apa yang sudah terjadi selama ini. Setelah berbagai pro dan kontra tentang pendeklarasian Jahad untuk menjadi Raja Menara, masalah Arlene dan V, lalu peperangan antara penentang dan pendukungnya, hingga pada akhirnya dia berhasil menjadi Raja Menara.

[Name] masih tidak percaya mereka berhasil melewati semua itu.

"Yah, tidak apa..." kali ini dia menatap Jahad, "kau benar-benar tidak melihatku ternyata. Kau tidak melihatku mengejarmu, mendengarkanmu berbicara tentang Arlene dengan penuh kekaguman, mengobatimu saat kau terluka, menemanimu saat Arlene lebih memilih bersama V. Yah, benar... kau tidak melihatnya sama sekali." [Name] menggigit bibirnya, menolak untuk menangis di depannya. Tidak lagi, tidak lagi dia menangis untuk orang sepertinya.

Wajah Jahad dipenuhi dengan penyesalan. "Tentu saja aku melihatmu, hanya saja aku belum menyadarinya..." suaranya memelan di akhir.

"Aku tidak percaya! Kau tidak sebodoh itu, kau mungkin sudah menyadarinya tapi kau terlalu egois!" [Name] mengeluarkan semuanya, semua kata yang dia pendam selama ini.

[Name] mengepalkan tangan hingga buku jari-jarinya memutih, berusaha sangat keras agar tidak dikuasai oleh persaaan emosional dan menahan tangisan yang sangat ingin dia tumpahkan.

"Jadilah Ratuku."

[Name] menatap Jahad dengan raut tidak percaya. "Aku sudah mencintaimu selama ribuan tahun, tapi kau lebih memilih wanita yang hanya memiliki cintanya kepada pria lain. Lalu dia pergi, meninggalkanmu terluka. Dan sekarang kau ingin aku berada di sisimu? Rajaku... aku sudah terlalu lama tersakiti, hanya karena kau mengatakan hal itu sekarang, bukan berarti aku akan menerimanya."

Jahad menunduk, menatap cincin dengan simbol tiga mata berwarna merah di jari pucatnya. Apa yang berubah? Jahad tidak mengerti tentang perasaan seperti itu. Cinta? Terdengar sangat asing baginya. Tapi dia yakin dia merasakan hal itu untuk Arlene.

Jahad tidak mencintai [Name].

Perasaan yang dimiliki hanya sebatas hubungan persahabatan yang saling menghormati, tanpa embel-embel romantis.

Sebuah cinta platonik.

Hanya sebatas itu.

Dan Jahad menyadarinya, tapi terlalu takut untuk mengatakan.

Karena dia diam-diam menginginkan hatinya jatuh kepada [Name]. Kalau saja Jahad bisa mengontrol perasaannya, dia pasti akan memilihnya.

[Name] menatap Jahad yang saat ini terlihat... hancur. Menggigit bibir tatkala merasakan hatinya berdenyut sakir. Selalu seperti itu... Jahad selalu saja menjadi kelemahannya.

"Tidak apa..." [Name] berkata lirih yang membuat Jahad menatapnya, "tidak apa kalau kau masih mencintainya..."

Jari-jarinya menyentuh pipi Jahad, tatapan matanya terlihat sendu. "Kita masih punya banyak kehidupan lain bagimu untuk mencintaiku kembali." [Name] berjinjit dan mengecup bibir Jahad sekilas. "Jadi tidak apa, tidak perlu merasa bersalah. Kau bisa mencintaiku di kehidupan selanjutnya. Jika kau masih belum bisa melakukannya, aku akan tetap menunggumu di kehidupan berapapun."

Jahad mencondongkan tubuhnya hingga membuat wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Tanpa menunggu lama, Jahad mempertemukan bibir mereka. Awalnya hanya ciuman lembut, namun berubah menjadi ciuman penuh gairah ketika [Name] membalasnya. Kemudian Jahad merengkuhnya dan memperdalam ciuman mereka.

Jahad tidak tahu apa yang harus dia katakan. Sejak dulu [Name] selalu percaya dengan eksistensi dunia lain. Apa Jahad akan mencintainya di kehidupan selanjutnya? Dia tidak mengetahui jawabannya.

Jadi saat ini, di kamarnya---di sebuah istana yang terletak di Lantai 134 Menara, di mana dirinya tinggal---Jahad memilih mencium [Name]. Dia menciumnya seolah dia butuh untuk bernapas, dia menciumnya seolah Menara akan runtuh sebentar lagi.

[Name] melepaskan ciuman mereka untuk mengatur napas, dia bisa melihat benang saliva yang terhubung dari mulut mereka. [Name] memanggil nama Jahad ketika laki-laki pirang itu mencium leher jenjangnya dan meninggalkan beberapa tanda kepemilikan di sana.

Ah, mereka terbawa suasana...

Kedua tangan [Name] menangkup wajah Jahad, menghentikan apa pun hal yang akan dia lakukan selanjutnya. "Aku tidak bisa melakukannya dengan orang yang tidak mencintaiku."

Jahad berusaha mengatur napasnya, terdapat sedikit noda lipstick yang berada di sekitar bibirnya. "Maaf."

[Name] tersenyum dan membawa Jahad ke pelukannya, tatapan matanya melembut walau tersirat luka di baliknya. "Sudah aku bilang tidak apa..."

Mungkin... di kehidupan selanjutnya.

______________________________________

[Name] menatap kagum lukisan di depannya, portrait seorang Raja yang memiliki rambut pirang dan mata berwarna oranye. Di sebelahnya berdiri seorang wanita berambut (h/c) dan mata (e/c). Semakin [Name] melihatnya, semakin dia menyadari wanita di lukisan itu terlihat mirip dengannya.

"Takdir?"

[Name] berbalik ketika mendengar suara maskulin dari belakangnya, dan melihat laki-laki yang anehnya juga menyerupai Raja di lukisan tersebut.

Dia mengernyit. "Kau pikir begitu?"

"Aku rasa... dulunya kita saling mengenal."

[Name] terkekeh, menatap mata oranye sang laki-laki yang juga balas menatapnya. Cahaya lampu di museum sedikit mengenainya, menunjukkan wajahnya yang terpahat dengan begitu indah.

"Kau terlihat begitu yakin."

"Aku pikir ada cara untuk membuktikannya." Laki-laki itu memang menunjukkan wajah tanpa emosi, tapi [Name] bisa melihat sekilas binar kebahagiaan yang ada di matanya.

[Name] menaikkan sebelah alisnya. "Cara?"

"Iya... bagaimana kalau hari ini kita keluar dan makan siang bersama?"

[Name] mengerjapkan matanya, "tentu," kedua sudut bibirnya terangkat---membentuk sebuah senyuman, "mana mungkin aku menolak ajakan makan siang dari seseorang yang bisa saja merupakan cintaku di masa lalu..."

______________________________________

___________________________

______________________

A/N :

Jahad ngakunya cinta platonik tapi akhirnya nyosor juga ( ꈍᴗꈍ)

𝗻𝗲𝗼𝗻 𝗺𝗼𝗼𝗻 • ᥫ᭡ 𝗍𝗈𝗀 𝗈𝗇𝖾-𝗌𝗁𝗈𝗍𝗌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang