Aryastya Cafe, atau lebih akrab dikenal dengan sebuta ARCA, adalah sebuah kafetari berukuran 4 × 6 m yang terletak di jantung kota Surabaya. Café dengan tampilan monokrom dan dihiasi dengan berbagai typografi di setiap dindingnya menambah nuansa estetik nan unik. Tampilan yang sengaja dibuat sesuai selera anak muda agar nampak instagramable istilahnya. Tak heran jika café ini selalu ramai dikunjungi oleh para muda-mudi Surabaya.
Nama dari café ini diambil dari nama sang owner, Aryasatya Zaydan Rahadi. Seorang dosen muda yang mulai merintis café ini bahkan saat ia masih berada di bangku perkuliahan. Berawal dari sebuah keisengan, namun siapa sangka ternyata café tersebut berhasil menjadi langganan para mahasiswanya dan masyarakat sekitar.
Siang itu matahari benar-benar memancarkan cahayanya dengan begitu sempurna. Tak terlihat sedikitpun mendung yang menghalangi sinarnya untuk dapat mencapai aspal hitam di luar café. Keadaan ARCA masih sama seperti hari-hari biasanya, selalu ramai walau tak seramai kala weekend.
Gadis itu nampak terus-menerus menggosok-gosok hidungnya yang terasa sangat gatal. Sesekali terdengar bersin keluar dari mulutnya namun dengan segera ia tutup dengan tisu yang telah tersedia di meja kasir tempatnya bekerja.
"Haciuuhh," sekali lagi. Gadis itu kemudian membuang tisu bekas bersinnya itu ke tempat sampah di bawahnya. Entahlah apa yang bisa membuatnya hingga sekacau itu siang ini. Sebenarnya dia sudah merasa kurang sehat sejak pagi, namun dia memaksakan diri untuk tetap bekerja.
"Ji," panggil Ningsih sembari meletakkan nampannya di depan Jihan.
"Iya Mbak."
"Kalo sakit pulang aja gih, jangan dipaksain. Mbak tahu rasanya kalo lagi flu, jelas kepala ini teras nyut-nyutan banget. Matamu merah loh itu," ucap Ningsih.
"Nggak papa kok Mbak, Jihan masih bisa, lagian udah biasa juga kan gini," tolaknya.
"Beneran nih? Mbak izinin ke Mas Zay deh, jelas diizinin. Kamu kan-"
"Mbaakk-" rengekan Jihan disambut tawa keras yang keluar dari mulut Ningsih. Ia tahu kemana arah pembicaraan Ningsih nantinya. "Sudah ih Mbak kerja sana, nanti tak bilangin Mas Zay loh!" ancamnya.
"Ciee udah berani ngancam pake nama Mas Zay," godanya sekali lagi.
"Mbakk udahh," rengek Jihan. Kali ini Ningsih segera berlari menuju dapur sebelum dihadiahi tisu bekas bersin Jihan yang sedari tadi sudah ia pegang.
Jihan kembali menggeleng pelan menghadapi tingkah teman kerjanya yang terkadang suka sekali mengganggunya itu. Meskipun sering dibully oleh teman-teman kerjanya, namun tak sekalipun terbesit rasa marah di hatinya. Justru sebaliknya, ia merasa terhibur dengan kekonyolan mereka.
Jihan memperbaiki posisi duduknya dan kembali melayani para pengunjung yang hendak membayar. Mengamati satu persatu pengunjung yang datang telah menjadi rutinitas menyenangkan bagi Jihan selama lima bulan terakhir.
Matanya kini bergerak menelisik setiap meja café yang tampak masih penuh dengan pengunjung. Tatapannya pun terhenti pada seseorang yang baru saja membuka pintu café. Seorang laki-laki dengan kemeja navy dipadukan dengan jeans hitam dan sebuah tas yang masih berada di punggungnya. Seseorang yang tampak tidak asing bagi Jihan.
"Kok kaya kenal ya? Tapi siapa?" gumamnya sangat pelan.
***
Lelaki itu turun dari vespa biru kesayangannya seraya melepas helm yang sedari tadi masih bertengger manis di atas kepalanya. Tak lupa kebiasaan kebanyakan lelaki ketika baru saja turun dari motor yaitu merapikan rambut. Menatap bolak-balik kaca spion guna memastikan penampilannya sudah perfect.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Kisah
General FictionIni adalah sebuah kisah tentang bagaimana seorang gadis mampu membuat seseorang kembali mengenal siapa Rabbnya. Sebuah kisah tentang cinta dengan segala rintangan untuk bisa mencapai akhir bahagia. Dan sebuah kisah cinta dalam diam dari sesorang unt...