19 | Prioritas Terselubung

10 1 0
                                    

"Aneh ya, padahal aku tahu kita tidak ada hubungan apa-apa tapi aku tetap saja cemburu melihatmu memprioritaskan orang lain dibandingkan denganku. Oh, ternyata seperti ini rasanya cinta bertepuk sebelah tangan."

-Zaydan-

***

"Jihan hari ini kamu jadi datang kan?" tanya seseorang di seberang telepon.

"In syaa Allah Mas, ini Jihan sudah siap-siap bentar lagi mau berangkat ke sana."

"Perlu dijemput?"

"Nggak usah Mas, nanti Jihan naik ojek aja."

"Yasudah, sampai ketemu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Tut tut tut.. telepon terputus.

Hari ini Jihan menyanggupi permintaan Diajeng untuk datang ke rumahnya, rumah Zaydan. Jihan berpikir karena ini adalah hari Jum'at dan ia pun tak memiliki jadwal kajian jadi tak ada salahnya kalau ia bertamu ke rumah Diajeng. Toh tujuan ia kesana bukan untuk menemui Zaydan, ya walaupun nantinya di sana ia juga pasti akan bertemu dengan Zaydan.

Setelah mengambil tas selempangnya, Jihan segera bergegas keluar dari rumah dan mengunci pintu kamar kostnya. Beruntungnya pagi ini aplikasi ojek online sedang tidak error, jadi dia tak perlu bersusah payah untuk mencari kendaraan lain.

Tiga puluh menit berlalu akhirnya Jihan sampai di depan pelataran rumah Zaydan. Zaydan berdiri di ambang pintu seolah-olah sedang menunggunya. Lalu Zaydan bergerak mendekati pagar untuk mempersilahkan Jihan masuk.

"Makasih Mas," ucap Jihan bersamaan dengan kakinya yang melangkah masuk ke pelataran rumah Zydan.

"Iya. Masuk gih, Bunda udah nungguin dari tadi."

Mereka berdua kemudian berjalan beriringan untuk masuk ke dalam rumah Zaydan. Jujur saja jika dilihat-lihat mereka sangat cocok sebagai pasangan. Namun itu pun hanya akan terjadi jika Jihan menyisihkan sedikit saja hatinya untuk Zaydan tempati. Sayangnya, untuk saat ini tak terbesit sedikitpun dalam benak Jihan untuk bermimpi tentang itu.

Diajeng datang dari arah dapur, berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Jihan dan langsung memeluknya. Pelukannya dibalas dengan pelukan erat pula oleh Jihan. Wajah mereka benar-benar sumringah dan terpancar sekali kalau mereka sangat senang dapat bertemu kembali.

"Alhamdulillah, Allah masih beri kita kesempatan bertemu lagi ya Jihan, saya bahagia sekali." Diajeng perlahan melepaskan pelukannya dan secara spontan Jihan meraih tangan Diajeng untuk diciumnya.

"Jihan juga senang Ustadzah, akhirnya kita bisa bertemu lagi," balas Jihan.

Zaydan yang berdiri seperti patung seolah tak dihiraukan oleh dua orang itu. Tapi bibirnya tak henti-hentinya menyunggingkan senyum bahagia melihat Jihan bisa begitu akrab dengan ibunya. Untuk sejenak Zaydan berangan-angan andai Jihan benar-benar bisa dimilikinya. Namun dengan sigap menggelengkan kepalanya pelan untuk menepis pikirannya itu.

"Panggil Bunda aja ya Ji, sama kayak anak Bunda yang lain."

Jihan tersenyum kikuk mendengar ucapan Diajeng. "Baik Ust— eh maksud Jihan, baik Bun—da."

Berada di posisi seperti ini sejujurnya membuat Jihan terharu. Ada semacam kebahagiaan yang tak bisa Jihan jelaskan. Hingga tanpa sadar air matanya menetes begitu saja.

"Loh, kenapa menangis?"

Jihan menyeka air matanya lalu tersenyum, "Jihan terharu, selama tiga belas terakhir Jihan tak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, dan saat ini ada seorang baik hati yang secara suka rela mengizinkan Jihan ntuk memanggilnya dengan sebutan 'Bunda'. Sungguh ini sangat membahagiakan bagi Jihan."

Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang