"Benar kata orang bahwa kesedihan dan kebahagiaan itu berjalan beriringan. Tadi pagi kamu bersedih, tapi siapa tahu entah nanti siang ataupun sore kamu akan dikejutkan dengan berbagai keadaan yang membahagiakan."
-Saga-
***
Krietttt
Bunyi pintu yang terbuka itu terdengar sedikit membuat telinga tidak nyaman. Sudah lama sekali ruangan ini tertutup dan tak pernah terbuka. Mungkin kurang lebih selama lima tahunan ini. Kala ruangan itu terbuka, terlihat barang-barangnya masih berada di tempatnya hanya saja kondisinya sudah sangat usang dan dipenuhi debu.
Saga masuk ke dalamnya. Menatap tiap sudut dari ruangan bernuansa monokrom itu. debaran aneh itu muncul lagi. Keringatnya mulai bermunculan, dadanya bedebar, ia tak dapat menahan tangisnya. Ia sudah tahu hal ini pasti akan terjadi. Semua kenangan dengan Samudra selalu membuatnya ketrigger dan tak dapat menegndalikan emosinya. Itulah sebabnya sejak kematian Samudra dia harus berurusan dengan psikiater hanya untuk menangani psikologisnya yang sangat terguncang.
Saga masih berusaha tegar. Ia menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Hal itu ia lakukan berulang-ulang sampai dirinya mulai tenang. Setelah semua terasa dapat ia kendalikan, tangannya kembali terulur mengambil bingkai foto yang masih berdiri di atas nakas. Mengusap pelan sosok pria berjas hitam yang kini sudah tak ada lagi di sisinya.
Matanya beralih menatap deretan piala dan penghargaan yang dipajang penuh pada sebuah lemari kaca di sudut kamar. Pencapaian yang telah diraih ditinggal begitu saja oleh pemiliknya.
Sekuat tenaga Saga menegarkan dirinya. Hari ini adalah tepat peringatan lima tahun kematian Samudra. Bagaimana Saga bisa lupa pada hari dimana dia melihat dengan kepalanya sendiri kakaknya tergeletak tak bernyawa dengan sayatan di pergelangan tangannya. Tepat sehari setelah pertengkaran hebat terjadi di keluarga mereka. Andai saja hari itu Saga dapat mencegah Sam pergi keluar dari rumah, mungkin saat ini mereka masih bersama-sama.
Saga yang kala itu masih berusia 17 tahun dan sangat tidak tertarik dengan bisnis keluarga memilih menghindar saat papa dan kakaknya bertemu, karena sudah jelas mereka akan membahas tentang bisnis. Tapi hari itu berbeda. Ketika biasanya papa dan kakaknya berbicara dengan penuh kehangatan, hari itu untuk pertama kalinya Saga mendengar papanya berteriak murka di hadapan Sam. Saga memang tidak melihatnya, tapi Saga dapat mendengarnyadari kamar bahwa mereka sedang bertengkar.
"Mas, bajunya sudah Bi Iyem siapkan di kamar." Ucap Iyem yang tiba-tiba berada di belakan Saga.
Ucapan Iyem membuat Saga tersadar dari lamunannya.
"Iya Bi."
Setelah itu Iyem keluar lagi dari kamar Sam. Membiarkan Saga di tempat itu sendirian. Yah hanya sendirian. Hal yang selalu membuat Saga merasa bahwa tidak ada yang pernah peduli dengan kematian Sam adalah ketika mama dan papanya tidak sedikitpun menunjukkan itikadnya untuk berkabung di hari ini. Bukan hanya hari ini, mungkin bahkan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan papanya tepat seminggu yang lalu memintanya ikut ke Sydney tepat di hari ini.
"Dulu lo kesayangan Mama dan Papa, but see, mereka bahkan tidak mengingat hari dimana lo pergi," ucapnya pelan.
Saga menyeka air matanya. Meletakkan kembali bingkai foto itu dan keluar dari kamar Sam. Tak lupa dia pun kembali menguncinya dan menyimpan kunci itu sendiri agar tak ada satupun yang berani mengotak-atik barang-barang Sam.
Hari ini Saga berniat untuk mengunjungi kuburan Sam. Mengabaikan seluruh titah Raihan yang terus saja mendesaknya untuk ikut ke Sydney mengurus bisnis mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Kisah
General FictionIni adalah sebuah kisah tentang bagaimana seorang gadis mampu membuat seseorang kembali mengenal siapa Rabbnya. Sebuah kisah tentang cinta dengan segala rintangan untuk bisa mencapai akhir bahagia. Dan sebuah kisah cinta dalam diam dari sesorang unt...