4 | Pertemuan Ketiga

34 3 0
                                    

"Darimu aku percaya bahwa cinta pandangan pertama itu ada."

-Saga-

***

Keadaan kampus sudah nampak sangat sepi. Bukan hal yang aneh karena 10 menit yang lalu adzan maghrib sudah terdengar ke seluruh penjuru tempat ini. Hanya terlihat beberapa mahasiswa saja yang masih berseliweran di area kampus. Kebanyakan dari mereka sudah pulang dan sebagian lainnya beranjak menuju mushola kampus untuk menunaikan kewajiban mereka.

Beda halnya dengan pria bernama Saga ini, ia masih saja berkutat dengan pulpen dan kertas di dalam kelasnya. Menjadi satu-satunya pewaris kekayaan pengusaha sukses Rehan Hardikusuma, membuatnya hidup dalam gelimang harta. Namun sayang, banyak harta saja tak cukup membuatnya bahagia. Ia hidup di tengah-tengah keluarga dimana kebersamaan menjadi hal yang sangat ia rindukan adanya. Tatkala papa-nya sibuk dengan para koleganya, maka sang mama juga sibuk dengan teman-teman sosialitanya, membuat Saga tumbuh menjadi anak yang sangat jauh dari kata agamis. Ia muslim, tapi sholatnya bisa dihitung dengan jari dalam setahun.

Tak jarang terbersit rasa iri merasuk ke dalam hati Saga tatkala melihat teman-temannya begitu rajin beribadah. Dia ingin seperti itu. Hanya saja dia merasa masih pantaskah untuk menghadap Tuhannya setelah begitu lama ia tak pernah sekedar memegang sajadah. Walaupun ia sendiri menyadari hidup tanpa pegangan agama bukanlah hal yang menenangkan. Hidupnya tak sebahagia yang dilihat oleh semua orang. Kekosongan dan kesepian adalah hal yang selalu ia sembunyikan jauh di lubuk hatinya sehingga tak ada satupun yang tahu bagaimana Saga sebenarnya.

"Ga, gue pergi dulu ya mau maghrib. Lo mau bareng nggak?" tanya Gilang -salah satu teman sekelasnya, sembari membereskan peralatan tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia kembali menatap Saga yang masih saja tak mengalihkan pandangan dari kertas di depannya.

"Iya lo duluan aja entar gue nyusul," jawabnya seraya masih mencorat-coret kertas di hadapannya.

Gilang menggelengkan kepala mendengar jawaban yang selalu sama keluar dari mulut Saga. "Sholat Ga, awas jangan sampek lupa. Yaudah gue duluan, baik-baik di kelas sendirian, kata temen-temen, Si Embak sukanya nongol pas lagi maghrib.

Saga menatap datar ke arah Gilang, "Udah sono, katanya mau sholat," usirnya.

Gilang segera keluar dari kelas dan meninggalkan Saga di kelas sendirian. Mengenai ucapan Gilang tentang Si Embak, sebenarnya Saga kurang percaya dengan hal itu. Si Embak yang dimaksud adalah perempuan penunggu kampus, yang konon katanya sering terlihat ketika menjelang maghrib dan tengah malam. Benar atau tidak Saga tidak tahu, namun itulah yang sering Saga dengar dari mahasiswa maupun staf yang kabarnya pernah melihat sosok itu.

Prakk

Saga terkesiap. Ia kembali menajamkan pendengarannya. Hanya dengan satu bunyi entah dari mana sumbernya berhasil membuat bulu-bulu di kulitnya meremang. Ia memegang tengkuknya seraya menetralkan degup jantungnya yang dalam sekejap bekerja dengan cepat. Ia menghembuskan napasnya pelan.

Prakk

Sekali lagi. Saga mulai gusar. Ucapan teman-temannya mengenai sosok itu berputar di otaknya. Dengan sigap ia memasukkan peralatan tulisnya dan ingin cepat-cepat keluar dari tempat itu. Tinggal selangkah sampai di ambang pintu, ia berhenti sejenak.

"Bismillahirrohmanirrohim," ucapnya pelan. Sedetik kemudian ia berlari keluar kelas tanpa memperhatikan situasi sekitar yang memang sudah sepi. Akhirnya, kini ia telah sampai di parkiran kampus yang terlihat lebih ramai dari ruang kelasnya.

Saga melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. "Masih jam segini males banget pulang ke rumah," gumamnya. Ia menaiki motornya sambil terus berpikir kira-kira apa yang harus ia lakukan kecuali pulang ke rumah.

Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang