6 | Sisi Lain

24 2 0
                                    

"Masa lalu memang sebaiknya tidak perlu diulang, cukup dikenang dan diambil pelajaran."

-Sagara-

***

Denting jam yang berbunyi sebanyak 10 kali membuat Saga terbangun dari tidurnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih sangat terasa perih. Denyutan di kepalanya juga belum sepenuhnya hilang. Pertengakaran dengan papanya semalam ternyata telah membuat Saga sangat lelah.

Semalam penuh dia tertidur di lantai yang dingin. Ia merasakan seluruh badannya sakit karena kerasnya lantai. Ia bangun dan duduk diatas ranjangnya sembari kembali mengingat yang terjadi tadi malam.

Kantuk Saga seketika menghilang setelah air di dalam gelas itu sukses membasahi seluruh wajahnya. Terkejut? Tentu saja. Ia sudah mulai tertidur kira-kira setengah jam yang lalu setelah meminum obat-obatan yang selama ini rutin ia konsumsi. Obat-obatan yang selama ini membantunya untuk merasa lebih tenang dalam menghadapi serangan panik yang biasanya secara tiba-tiba datang.

Saga langsung tertuduk di atas ranjangnya seraya mengusap sisa air yang masih menempel di wajahnya. Di hadapannya sudah berdiri seorang pria yang masih lengkap dengan setelan jasnya terlihat sedang mengarahkan tatapan tajam seolah ingin menerkam Saga saat itu juga. Di tangannya, ia memegang sebuah kertas yang Saga tidak tahu secara jelas itu kertas apa. Lampu kamar yang sebelumnya telah Saga matikan kini sudah menyala kembali. Saga tahu tentu pria itu juga yang telah melakukannya.

"Coba jelaskan pada Papa apa maksudnya ini?!" bentaknya seraya menunjukkan koran di hadapan Saga.

Saga meraihnya dan mulai membaca halaman yang ditunjukkan papanya tersebut. " SAGARA WILANTARA HARDIKUSUMA, PUTRA PENGUSAHA TERKEMUKA RAIHAN HARDIKUSUMA, SUKSES JUARAI KOMPETISI MELUKIS INTERNASIONAL YANG DIGELAR DI NEW YORK" sebuah clickbait yang menerangkan terkait kompetisi yang sempat Saga ikuti satu bulan yang lalu. Saga tahu hal ini pasti akan terjadi.

Saga tersenyum miring, menatap miris deretan tulisan yang baru saja ia baca. Ia bangkit dari posisi sebelumnya. "Jadi, apa yang mau Papa lakukan pada Saga saat ini? Menampar ? Menonjok? Atau bahkan menghabisi Saga saat ini juga?"

"Heh jaga mulut kamu!" telunjuk Raihan mengarah tepat di depan mata Saga.

"Jujur Saga capek Pa, Saga capek jadi boneka di keluarga ini. Saga capek sedari kecil dituntut untuk menuruti semua yang Papa dan Mama inginkan. Saga tidak pernah dibiarkan menentukan arah tujuan yang Saga inginkan, kenapa Pa? Apa karena Papa ingin Saga seperti Kak Sam yang menuruti semua kemauan kalian sampai pada akhirnya dia menyerah dan memilih jalannya sendiri!"

"SAGA JAGA UCAPAN KAMU!" teriakan itu bersamaan dengan tamparan keras yang melayang ke pipi kanan Saga. "Selama ini Papa sudah cukup sabar menghadapi tingkahmu, tapi kali ini Papa benar-benar malu. Nama Papa terpampang jelas di sana, buat apa Papa tanya. Buat apa kamu mengikuti kompetisi tidak jelas? Papa ingatkan sekali lagi, karir kamu ke depan adalah meneruskan perusahaan keluarga ini, bukan menjadi pelukis ataupun fotografer yang tidak jelas arahnya kemana. Satu lagi, Papa tidak akan mengizinkan kamu mengambil beasiswa kuliah di luar negeri yang kamu dapatkan. Papa harap ini terakhir kalinya kamu mempermalukan Papa!" Raihan melenggang keluar kamar Saga setelah mengatakan itu. Bunyi pintu yang dibanting menggema di seluruh kamar, menandakan Papanya kali ini benar-benar murka.

Air mata itu jatuh tanpa Saga sadari. Kakinya lemas untuk sekedar menopang tubuhnya. Kini ia meluruhkan tubuhnya ke tepian ranjang kingsize miliknya. Kilasan kelam masa lalu itu kembali terbayang-bayang di pikiran Saga. Ternyata sudah banyak sekali impian anak di rumah ini yang harus lenyap begitu saja karena dihadapkan pada ego orang tuannya.

Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang