The Sweetest Daddy
Bodoh
[]
Barata menutup matanya sejenak. Dia lupa tujuan awalnya sendiri. Padahal, dia seharusnya tidak terbawa emosi. Bagaimana bisa bicara dan menemukan titik terang jika seperti ini yang dirinya lakukan? Kekecewaan di wajah Agniya juga wajar terlihat, karena ucapan Barata yang berlebihan. Menyandarkan keningnya di pintu unit apartemen Agni berada, pria itu merutuki diri sendiri yang tidak bersikap dewasa sama sekali.
"Apa yang kamu lakukan, Bar? Kenapa membuat Agni marah? Kenapa bicara seperti tadi???"
Membenturkan keningnya di pintu berulang, membuat orang yang lewat menjadi heran sendiri. Untuk apa melakukan hal itu di depan pintu unit orang jika bisa mengetuknya. Sayang, Barata tidak akan dibukakan pintu meski mengetuk. Sebab Agniya sudah sangat kecewa padanya.
Penyesalan selalu ada diakhir, dan Barata tidak akan bisa menghindarinya. Dia terlalu berakal pendek jika ada hal yang bersangkutan dengan Agni dan bukan Barata pemiliknya. Menjadi gegabah adalah kebiasaan Barata belakangan ini, jadi tak heran dia selalu mengacau dari rencananya yang sudah matang dan kini harus hancur.
Buntu akan apa yang harus dilakukan, pada saat itu ponsel Barata bergetar dan orang barunya sepertinya mengganti nomor lagi. Barata benar-benar dibuat bingung oleh orang barunya yang suka berganti-ganti nomor.
"Ya? Ada apa?" Barata langsung bertanya demikian kepada informannya itu.
"Mungkin Anda harus ke kantor putra Anda sendiri, Pak. Saya tetap bisa mendapatkan informasinya untuk Anda. Tapi saya kira Anda ingin melihat dan mendengar langsung apa yang sedang terjadi."
Barata tidak mengerti ucapan informannya itu karena sambungan telepon langsung diputuskan. Barata sedikit linglung, tapi dia mencoba mengikuti instruksi orangnya dan menuju kantor Khrisnan.
Sekali lagi menatap pintu unit Agniya berada, pria itu ingin mengetuknya dengan paksa supaya Agni membukakan pintu dan memandang Agni lebih lama lagi. Sayang, Barata masih harus memastikan segalanya agar tidak lagi mudah terbawa emosi.
"Saya akan kembali, Agni. Maafkan saya untuk hari ini. Saya memang bodoh."
Barata mengakuinya. Dia memang bodoh belakangan ini. Dan dia berusaha untuk tidak lagi bodoh setelah apa yang ditemukannya kali ini.
*
Khris menatap ragu pada Karta yang mengusulkan sarannya. Itu bukan saran biasa, melainkan saran yang harus Khris pikirkan baik-baik.
"Saya nggak bisa melakukan itu, Karta. Bagaimanapun anak yang dikandung perempuan itu adalah adik saya, anak papa saya. Nggak sampai hati kalau saya memaksa Agni menggugurkan kandungannya yang akan melahirkan adik saya."
Karta menatap datar pada anak bosnya itu. Khris juga sama lemahnya, seperti sang ayah yang tidak mampu menangkal keberadaan Agniya.
"Kalau anak itu lahir, mungkin akan semakin besar kemungkinan tuan Barata tahu mengenai anaknya itu. Kasih sayang untuk Anda tidak akan pernah sama lagi, Tuan muda. Papa Anda hanya akan memperdulikan simpanannya dan anak mereka saja."
Karta terlalu banyak mempengaruhi isi pikiran Khris. Tidak ada yang tahu apa motif sebenarnya yang Karta simpan. Yang jelas, bagi yang mendengar bagaimana Karta mengatakan semua usulan itu akan merasakan betapa kejamnya Karta mempengaruhi Khrisnan.
"Papa nggak mungkin seperti itu, Karta ..."
"Memang benar, saya tidak akan bersikap seperti apa yang kamu katakan Karta!"
Barata langsung menginterupsi pembicaraan yang membuat telinganya panas itu. Bagaimana tidak? Ternyata Karta yang menanamkan pikiran buruk pada putranya hingga terlibat dengan rencana untuk menjebak Agniya seperti ini?
Astaga. Barata sudah sangat bersalah dengan Agniya yang tidak mengerti apa-apa. Ucapan Agniya benar, dia tidak tahu siapa lelaki yang masuk dan memeluknya itu. Dan hal tersebut adalah sebuah kejahatan. Agniya sudah dilecehkan oleh pria asing dan Barata tidak memberikannya waktu untuk bicara. Sialan! Dia harusnya sadar bahwa bayi yang Agni kandung adalah miliknya!
"Pa?"
"Khris, hentikan semua ini. Papa akan memaafkan kamu dan berhentilah. Mulai saat ini, Papa nggak akan membiarkan Karta ada disekitar kita." Barata beralih menatap Karta dengan geram. "Kamu harus mendapatkan hukuman atas apa yang kamu lakukan. Putra saya kamu didik dengan pemikiranmu untuk menghabisi nyawa orang lain? Kamu sakit!"
Barata tahu apa yang harus dirinya lakukan. Uang dan koneksi akan membantunya untuk memberikan hukuman setimpal bagi Karta.
"Pa ini semua salah Khris."
"Lalu apa? Kenapa kamu mengakui ini salahmu? Kalaupun kamu salah, kamu tetap anak papa, Khris. Tidak ada orangtua yang mau anaknya menanggung beban seperti ini. Apa kamu nggak kenal dengan papa? Kamu percaya orang lain ..." Barata menarik napas dalam. "Maaf, Khris. Papa minta maaf. Salah papa juga terlalu percaya dengan orang ini. Dan mulai sekarang, papa nggak akan percaya dengan siapa pun."
Tak ingin berlama-lama, Barata menyerahkan seseorang untuk mengurus Karta. Dia tidak mau menyentuh Karta dengan tangannya. Sebab sudah banyak kesalahan yang dia lakukan akibat masukan Karta. Pergi dari kantor anaknya, Barata sekarang semakin kecewa pada dirinya sendiri karena melakukan kesalahan pada orang lain.
*
Mata bengkak dan perih, hidung merah, hingga pipinya juga turut kebas karena terlalu larut dalam tangisan sudah sangat menyusahkannya. Es batu yang dia masukkan ke dalam handuk dan mengompresnya tidak membantu banyak selain menyejukkan saja. Karena sekarang matanya masih bengkak juga.
"Menyusahkan diri sendiri aja, sih, Ni! Udah tahu nangis bikin sakit mata, malah cengeng begini!" Memarahi diri sendiri memang selalu dilakukan oleh Agniya.
Menatap perutnya yang memberi jarak antara meja dapur dengannya, Agniya menyadari bahwa janjinya pada sang bayi gagal lagi. Memang tidak bisa dia menjadi tangguh sedikit saja jika mendapati Barata di dekatnya.
"Kamu marah, ya? Dari tadi kamu kenceng banget di perut mama."
Agniya tak ingin panik lagi. Dia yang terlalu sedih dan itu membuat dirinya tertekan. Mungkin bayinya ikut stres karena dirinya yang tidak bisa menjaga ketenangan.
"Maaf, ya, Bibii. Mama kamu ini terlalu kekanakan, cengeng, nggak tegas, dan mudah banget tertekan." Dia mengelus perutnya dengan tangan kirinya karena tangan kanannya digunakan untuk mengompres matanya.
Dia tahu tidak mudah menanggung tanggung jawab untuk menjadi ibu. Dia tahu bahwa bisa saja dia menyelesaikan masalah dengan meniadakan bayi yang membuatnya terlibat dengan keluarga pria itu, tapi tidak dilakukannya karena dia memiliki rasa sayang yang luar biasa untuk bayinya.
Sekali lagi dia memikirkan uang tabungannya yang dia miliki. Rekening baru dia miliki karena dia meminta Khris membuatkannya. Jika bersama Barata dulu dia bisa dekat dan meminta ini itu pada sang pria, bersama Khris dia harus memiliki rekeningnya sendiri agar tidak terlalu sering menghubungi putra Barata itu.
"Tabungannya mungkin cukup untuk biaya lahiran dan buka usaha rumah makan kecil-kecilan, Bibii. Tapi tunggu kamu lahir dulu, ya. Supaya paling nggak ada yang bisa mama hubungi pas kontraksi. Mama nggak bisa begitu saja sendirian, Bibii."
Obrolannya terhenti karena bunyi bel apartemennya berdenting. Sepertinya ada tamu yang datang. Siapa? Jika Barata ... kenapa membunyikan bel? Pria itu bahkan tidak memberi salam saat masuk tadi siang.
"Apa lagi yang akan kita hadapi sekarang, Bibii?"
[ Jadi orang ketiga memang salah. Itu sebabnya perjuangan Agniya dari kesalahannya akan sedikit panjang. Sabar, yes.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetest Daddy/ Tamat
RomanceCetak di Karos Publisher Tersedia versi e-book di google playbook Daddy series #1 Agniya Ayu harus mencari cara untuk keluar dari rundungan keluarga bibinya. Terpikirkan untuk pergi ke kota, takdir membawanya mengenal Barata Agung Yudha. Pria yang s...