31. Hotel

6.6K 1K 91
                                    

The Sweetest Daddy

Hotel

[]

Agniya tertidur selama perjalanan panjang mereka menuju Bogor. Perempuan itu tidak benar-benar menginginkan menikmati soto Bogor, karena yang Barata lihat selama perjalanan. Agni lebih banyak mengambil banyak pemandangan di jalanan dengan ponselnya. Setiap mereka berhenti di pom bensin, Agni akan keluar dari mobil dengan alasan ingin buang air kecil. Padahal, Barata tahu bahwa perempuan itu ingin menikmati banyak pemandangan yang bisa dia dapatkan di sekitar pom.

Miris merasakan bagaimana Agniya ingin bisa keluar dari tempatnya tinggal. Sudah cukup lama memang mereka tidak berjalan-jalan berdua. Dulu, ketika masih bersama dengan kondisi yang sama-sama mabuk asmara, Barata akan tetap memberikan kesempatan mereka untuk menikmati suasana di luaran. Ketika mereka tidak lagi berdua dan Khris mengurungnya di apartemen, siapa yang akan membawa Agni jalan-jalan?

"Apa kita udah sampe warung sotonya, Om?"

Barata tahu panggilan itu hanya akan diucapkan oleh Agniya ketika tidak begitu sadar. Masih dengan nyawa yang belum terkumpul, Agniya menjadi dirinya sendiri tanpa menutupi apa pun dari Barata. Namun, begitu sepenuhnya sadar, Agni langsung menjadi pendiam.

"Ini ..." Agni menatap Barata dengan ngeri. "Kenapa kita di kamar hotel?"

Barata tidak menjawabnya cepat. Pria itu biarkan pikiran Agni mengacau kemana-mana. Kalaupun iya, toh mereka juga sudah pernah melakukannya bersama hingga kecolongan memiliki Bibi seperti sekarang ini.

"Susu hamil kamu tadi sudah aku buat, sepertinya sudah hangat." Barata berdiri dan mengambilkan segelas susu kehamilan untuk perempuannya. "Minum dulu."

Barata tahu tatapan penuh menyelidik yang Agniya berikan untuknya. Meski tangan perempuan itu menerima gelas susunya, tetap saja ada kecurigaan yang terus dilancarkan Agni pada Barata.

"Kenapa kamu lihatnya begitu?" tanya Barata.

"Kamu mau ngapain bawa aku ke sini? Kenapa kita di sini?"

Sejujurnya Barata ingin tertawa melihat Agniya yang kesal begini. Bukannya menyebalkan, Agniya justru semakin cantik karena sebenarnya mereka juga sudah terbiasa saling berdekatan dengan tempat yang dinamakan kamar. Selama beberapa bulan tidak saling menjamah, bukan berarti tidak bisa, kan?

Bar! Jangan pikirin itu dulu!

Pikiran pria memang suka mengacau disaat yang tidak terduga. Barata ingin fokus menyembuhkan luka Agni, bukan mengajaknya bercinta. Namun, terkadang memang pikiran kotor melingkupi kepala karena tampilan Agniya yang lebih dibanding ketika tidak hamil.

"Jawab, dong! Jangan malah lihatin aku kayak gitu!" Agniya membuyarkan lamunan Barata.

"Aku capek, butuh istirahat. Kamu yang duduk dan lihat jalanan aja kecapekan sampai nggak kerasa aku gendong sampai sini. Memangnya kamu aja yang butuh istirahat? Aku juga, Agniya."

Ya, dramatisasi akan Agniya lakukan. Barata sudah membaca bahwa perempuan itu tidak terima dengan satu kamar saja yang disewa.

"Kamu boleh di sini, tapi pesan bed tambahan."

Yang ini berada diluar dugaan. Barata tidak mengira bahwa Agni akan membiarkannya berada di satu ruangan dengannya. Apalagi untuk urusan tidur.

"Kenapa?" Barata yang sekarang malah curiga.

"Ya, karena aku nggak mau bayar sewa kamar mahal-mahal. Kamar ini luas, kok, kalo ditambah satu kasur tambahan. Ini atas nama kamu, kan?" Barata mengangguk. "Yaudah, bagus. Aku jadi nggak ngerepotin uang Khris lagi."

Menyebut nama Khris, Barata jadi ingat bahwa dia belum menceritakan apa-apa pada Agni mengenai rumah tangganya dan Trisha. Agni masih belum tahu bahwa kondisi yang kacau membuat Barata dengan mudah mencari teman tidur diluaran. Tapi sebelum itu, Barata akan membawa Agni untuk ke restoran hotel lebih dulu.

"Kamu masih mau makan soto, nggak?" Barata bertanya.

"Memangnya kita mau keluar lagi? Naik mobil?" Agni menggeleng lebih dulu. "Aku capek duduk terus di mobil. Punggung aku pegel."

Barata berlutut di pinggir ranjang. Dia memijat punggung Agniya tanpa banyak bicara. Gerakan itu membuat Agni terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa, dia takut akan terbawa suasana hingg memberikan kecupan untuk Barata jika terlalu terlena dengan posisi mereka.

"Kenapa nggak bilang kalau punggung kamu sakit?"

Agni menunduk, menghindari tatapan Barata. Perempuan itu menjalin tangannya sendiri supaya tidak ketahuan gugup. "Sudah sering begini. Makin besar perutku, semakin sering aku ngeras pegel di punggung dan pinggul."

Barata baru tahu mengenai ini. Saat Trisha dulu mengandung, perempuan itu terlihat biasa saja menjalani semua kegiatannya. Apa karena Trisha terlampau tak peduli pada kandungannya sendiri? Kenapa Trisha bisa lebih santai dan hobi berbelanja dengan perut yang semakin lama makin membesar dan membawa banyak keluhan?

"Dulu, sewaktu Trisha hamil Khris, aku nggak tahu apa-apa."

Agniya tertegun. Pembahasan mengenai istri pria itu tak disangka akan didengarnya sekarang.

"Trisha nggak pernah mau membagi keluhannya sama sekali, sampai aku nggak tahu apa-apa soal perempuan yang mengandung."

Dengan suara yang kecil Agniya membalas. "Mungkin istri kamu nggak mau menyusahkan orang lain. Dia hebat kalau nggak pernah mengeluh soal kehamilannya."

"Memang hebat. Sangking hebatnya, aku juga mengira perempuan hamil bisa santai dan asyik belanja ke sana kemari tanpa peduli kandungannya sendiri. Aku kira semua perempuan hamil memang sekuat itu, sampai aku lihat bagaimana kacaunya Trisha ketika melahirkan Khris diusianya yang sangat muda."

Barata tidak menghentikan pijatannya. Agni menatap pria itu yang sibuk memfokuskan diri guna memberikan gerakan nyaman di punggung Agni. "Kalian nikah muda?" tanya Agni.

"Hm. Trisha hamil saat usia 16, dan aku waktu itu masih tujuh belas. Biasa, married by accident. Hamil duluan."

Barata mengucapkannya dengan biasa, terlampau biasa sampai Agniya bingung sendiri. Pria macam apa yang sedang bersamanya ini?

"Kamu nggak merasa bersalah?"

"Untuk apa?"

"Menghamili perempuan yang masih sangat muda. Kamu membuatnya nggak memiliki pilihan selain menikah."

Barata menghentikan tangannya. Keduanya bertatapan dalam, sedang membaca pikiran satu sama lain yang berakhir tak ada apa-apanya. "Aku nggak menyesal menikah dengan Trisha saat itu. Aku pikir, kami saling cinta dan nggak akan ada masalah dengan pernikahan. Toh, aku punya segalanya. Orangtuaku kaya dan itu akan menjadi nilai tambahan bagi Trisha. Tapi aku menyesal sudah salah mengartikan perasaan Trisha."

"Maksudnya?"

"Trisha nggak mencintaiku. Dia hanya coba-coba saat itu. Dia mengatakannya ke aku, ketika aku memergoki dia ciuman dengan pacarnya di rumah dan membuat Khris kecil bertanya-tanya siapa laki-laki yang diajak Trisha ke rumah." Barata mendapati cairan bening dari pelupuk mata Agniya. Barata mengusapnya pelan. "Aku menyesal membawa Khris dalam keluarga yang kacau, Agni. Kalau aku tahu Trisha nggak mencintaiku, mungkin aku akan membebaskannya memilih bertahan untuk janin itu atau tidak. Tapi dengan keyakinanku yang lugu, aku memaksanya menikah denganku."

"Lalu Khris?"

"Dia tahu. Setelah aku tahu dia yang menjebak kamu, dia mengaku bahwa sudah terbiasa dengan keluarga palsu. Dia ingin aku dan Trisha tetap bersama, dengan cinta palsu. Dia sengaja membuat aku dan Trisha nggak memiliki keluarga masing-masing, karena dia takut kami semakin nggak peduli padanya."

Tanpa Barata duga, Agniya justru menangis tersedu-sedu. Perempuan itu menangis seolah dadanya teriris belati. Sakit sekali mendengarnya. Apa yang sebenarnya Agniya pikirkan?

[Coba tebak kenapa Agniya nangis sampe segitunya?]

Sweetest Daddy/ Tamat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang