The Sweetest Daddy
Bogor
[]
Pada dasarnya wanita memang makhluk yang paling sulit diurai apa isi pikiran, hati, dan bahasa mulutnya. Kalian pasti paham, kaum hawa. Bahwa ada tiga refleksi diri dalam diri perempuan. Pertama pikirannya yang terlampau logis hingga menentang isi hati mereka yang sangat melankolis, dan disampaikan dengan bahasa mulut yang penuh ambiguitas. Pasti semua perempuan seringkali bertubrukan dengan semua bentuk keputusan. Mereka yang meminta pendapat mengenai makanan apa yang akan dikonsumsi, biasanya tak mau berpikir untuk menu makan mereka saat itu. Namun, hati mereka selalu tak cocok dengan ajakan prianya. Lalu, bahasa mulut mereka akan begitu singkat hingga membingungkan siapa saja yang menghadapinya.
Sama hal nya dengan yang dilakukan Agnia kini. Dia yang meminta Barata untuk pergi, dengan alasan ingin soto Bogor dan pria itu harus membelinya langsung di daerah sana. Namun, hatinya tidak cocok dengan pilihan tersebut. Tiba-tiba saja dia ingin ikut bersama Barata untuk benar-benar merasakan soto Bogor yang semula tidak dia inginkan. Itu hanya celetukan biasa, tapi menjadi keinginan yang harus dituruti secara mendadak karena ... anaknya? Apa benar karena Bibi? Bukankan memang pada dasarnya Agniya ingin melihat dunia luar yang sudah lama sekali tidak dia dapati?
Dengan langkah cepat, perempuan itu buru-buru untuk keluar dari kamarnya dan mencari keberadaan Barata. Ketika matanya tak mendapati sedikitpun jejak sang pria, Agniya dengan cepat keluar dari unitnya dan menaiki lift untuk menuju lobi. Dia tak mau Barata meninggalkannya sendirian dan pria itu bisa melihat jalanan ke Bogor.
"Barata!" serunya ketika sudah mencapai lobi dan membuat orang-orang di sana menatapnya dengan aneh. "Barata!"
Dia bahkan tidak peduli sudah sangat tidak sopan dengan memanggil nama pria itu kosong, tanpa embel-embel di depannya.
"Bar—"
Sebuah rengkuhan Agniya rasakan. Dia mendongak dan mendapati wajah Barata yang dengan heran melihat Agni. "Kamu kenapa?"
Meraih kemeja Barata, perempuan yang tengah hamil itu mengatakan keinginan sebenarnya dengan nada menggebu. "Aku mau ikut kamu ke Bogor!"
Barata melirik kanan dan kirinya yang sepertinya tak suka dengan interaksi mereka. Dengan cepat Barata membawa Agniya untuk menyingkir. Pria itu memilik kursi tunggu di lobi yang membuat Agni bisa duduk dan tidak kelelahan.
"Kamu mau ikut? Katanya tadi aku yang harus ke Bogor?"
Agniya menggeleng dengan keras. "Aku mau ikut. Bibi yang mau untuk ikut."
Dari tatapan Agniya yang takut-takut meliriknya, Barata tahu bahwa Bibi hanyalah alasan saja. Karena sudah jelas di sini siapa yang ingin ikut ke Bogor dengannya.
"Jadi, kamu mau makan langsung di sana?"
Agniya kembali menganggukan kepalanya kuat. Dia tidak mau dilarang ataupun ditentang. Semakin Barata tidak mengizinkannya karena kondisi kehamilan, maka Agniya akan semakin menggunakan alasan kehamilannya untuk bisa dituruti.
"Perjalanannya jauh—"
"Pokoknya aku mau ikut!"
Disela berulang kali, Barata akhirnya mengiyakan. "Terus kenapa kamu nggak pakai alas kaki? Kamu nggak pakai jaket. Apa semua ini penampilan orang yang mau ikut perjalanan lumayan jauh?"
Agniya melihat kakinya yang polos tanpa sandala apa pun, tubuhnya juga hanya dibalut kaus super besar yang menenggelamkannya hingga lutut. Sungguh Agniya tidak sadar sudah berlari mencari keberadaan pria itu tadi.
"Kamu lari tadi?" tanya Barata yang seolah bisa membaca pikiran Agniya yang mengulang kejadian mengapa dirinya bisa sampai lobi tanpa persiapan apa-apa. "Lari, Agniya???!"
Tetap saja Agni menelan ludahnya susah payah. Dia tetap takut karena sudah melakukan kesalahan. Apalagi ketika mendengar helaan napas Barata yang keras. Pria itu pasti akan menceramahinya setelah ini.
Satu, dua, tiga ....
"Tunggu di sini dan jangan lari-lari seolah kamu nggak membawa satu nyawa lagi di dalam perutmu!"
Agniya mendongak pada pria yang memiliki postur tubuh masih begitu tegap itu. Dia tidak dimarahi? Kenapa?
"Kamu mau ke mana?"
"Ambil alas kaki, jaket, dan beberapa kebutuhan lainnya. Tunggu disitu!" Barata memberikan ultimatum yang tidak boleh dilanggar oleh Agniya.
Mau tidak mau Agniya menunggu dengan sedikit malu, sebab dia baru sadar penampilannya kacau sekali. Tidak ada riasan, rambut yang tidak tertata, dan semua kekurangan lainnya. Dia sungguh ceroboh hanya demi mengikuti Barata dan tak mau ketinggalan ke Bogor bersama pria itu.
"Aku benci kamu, Om." Gumam Agniya. "Tapi Bibi kayaknya seneng banget sama kamu."
Perempuan itu asyik bicara dengan dirinya sendiri, tidak menyadari bahwa ada banyak mata memperhatikannya. Cantik tapi agak gila, mungkin begitulah yang dipikirkan orang-orang yang melihat Agniya sekarang.
"Ini, pakai sandalnya." Bak seorang putri, Barata membungkuk dan membantu kaki Agni untuk masuk ke dalam sandal dengan baik. Lalu, pria itu memasangkan jaket hangat untuk Agni tanpa membiarkan perempuan itu melakukannya sendiri.
Semua perlakuan manis tersebut diamati oleh orang-orang sekitar. Barata tidak peduli dan Agniya tak mau mengatakan apa-apa. Sebab dia tak mau bersikap aneh jika nantinya pipinya semakin memerah dengan perlakuan manis Barata lainnya.
"Kamu nggak mau kasih ucapan terima kasih?" tanya Barata.
Agniya langsung menghindari tatapan dengan pria itu, dia akan termakan rayuan Barata bila menanggapi pertanyaan sang pria. Dan lagi-lagi Barata berakhir seperti manekin yang diabaikan oleh pengunjung.
*
Barata melihat Agniya yang buru-buru masuk ke kursi penumpang belakang. Sekali lagi barata menghela napasnya. Rupanya Agniya masih belum mau untuk melunakkan hati. Barata kira perempuan itu sudah sangat luluh dengannya karena meminta ikut ke Bogor, ternyata belum.
Membuka pintu belakang, Barata menunduk dan membuat Agni terkejut. Wajahnya menunjukkan raut kaku. "Pindah." Barata membuat Agniya sedikit ragu untuk memprotes.
"Aku mau di sini."
"Aku bilang pindah."
Jika terus memberikan kelonggaran pada Agniya, mungkin saja perempuan itu semakin jauh dengannya. Jadi Barata tidak akan memberikan kelonggaran lagi.
"Agniya, saya bilang pindah atau saya yang memindahkan kamu?"
Dengan kesal perempuan itu menuruti. "Iya, iya! Aku pindah ke depan!"
Barata menyingkir dari pintu, memberi jalan bagi Agniya untuk pindah. Lalu dengan sembarangan dia menaruh tas yang dibawanya ke kursi belakang agar tidak ada kesempatan bagi Agniya untuk mangkir dari tempat duduk di depan.
"Kamu bawa tas buat apa?"
Jujur, Agniya tidak tahu apa yang Barata bawa di dalam tas itu. Karena sejak di lobi, Agniya hanya fokus memikirkan cara agar tidak terlihat tersipu.
"Ada sesuatu."
"Apa?"
Barata menoleh pada Agni yang jadi sangat ingin tahu. "Kenapa kamu jadi ingin tahu, Agniya?"
Jika saja pria itu bertanya dengan gestur biasa saja, maka Agniya tidak akan gugup dibuatnya. Namun, karena ini adalah Barata yang ingin berusaha meluluhkan hati Agni, maka wajah pria itu maju dan dekat sekali dengannya.
"Ya ... nggak—ah, sudahlah! Jalan aja bisa nggak? Aku nggak mau semakin kemaleman karena kamu yang lambat!"
Barata mengukir senyum kecil. Dia akan meluluhkan Agniya sedikit demi sedikit. Ayo, Bi! Bantu papa bikin mama kamu luluh, Nak.
[Double nggak? Kalo double up, ramaikan dengan komentar asyik dan unik kalean dumssss😉]
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetest Daddy/ Tamat
RomanceCetak di Karos Publisher Tersedia versi e-book di google playbook Daddy series #1 Agniya Ayu harus mencari cara untuk keluar dari rundungan keluarga bibinya. Terpikirkan untuk pergi ke kota, takdir membawanya mengenal Barata Agung Yudha. Pria yang s...