29. Bantuan

5.6K 1K 55
                                    

The Sweetest Daddy

Bantuan

[]

Kemana Agniya berada di sanalah sumber kebahagiaan yang Barata dapatkan. Ditambah dengan keberadaan bayi dalam perut Agniya yang sungguh membuat Barata merasakan kebahagiaan yang semakin penuh. Kondisi kesehatan Agniya yang terutama harus diperhatikan, karena apa yang ibu rasakan dan pikirkan, itu pula yang dibagi pada bayi dalam kandungan. Selama pemeriksaan, tidak henti-hetinya Barata melebarkan senyuman meski tatapan dokter sedikit memicing penuh tanya. Memasuki usia empat bulan, bentuk bayi pasangan itu mulai terlihat. Barata luar biasa bahagia menatapnya. Dia tak sabar untuk mengetahui jenis kelamin bayinya, tapi Agniya meminta agar dia tak pernah tahu hingga kelahiran terlaksana.

Sebenarnya Barata sedikit kecewa. Sebab ekspresi Agni justru menunjukkan kekhawatiran. Bukannya bahagia, perempuan itu justru semakin tertekan. Hal itu membuat Barata tidak bisa fokus dengan ucapan dokter yang menangani Agniya. Bahkan juga hingga ke luar ruangan, mereka tidak bicara apa pun.

Mereka akan pulang, menuju mobil dengan bingkisan berupa vitamin yang sudah Barata ambil dengan tangkas. Saat akan melewati pintu lobi, panggilan yang menggemakan nama Barata membuat mereka berhenti.

"Bar? Apa kabar?"

Agniya mengamati kedua pria yang mulai bicara dengan akrab. Dia tidak tahu harus bagaimana, menunggu atau pergi saja?

"Ini siapa, Bar?" tanya teman Barata itu.

Agniya dengan cepat memutar otaknya. Dia menunduk sopan pada teman Barata dan pria yang mengajaknya periksa itu. "Terima kasih bantuannya, Pak. Saya permisi dulu."

Tak sempat Barata berkata, Agniya sudah lebih dulu pergi dan temannya itu mengambil alih.

Agniya berbalik badan dan mulai berjalan pelan. Samar-samar dia mendengar teman Barata bicara. "Baik banget lo bantuin istri orang, Bar. Seumuran sama anak lo, kan? Kalo bukan punya orang, pasti mau lo jodohin sama Khrisnan, kan?"

Diam-diam Agniya menangis. Sungguh miris keadaannya. Mana mungkin ada yang menyetujui hubungannya dan Barata. Bahkan teman pria itu juga mengira bahwa Agni lebih pantas bersanding dengan Khris. Untung saja tadi dia segera bersikap seolah sudah Barata bantu. Jika tidak, penilaian apa yang akan dirinya dapatkan dari pria seumuran Barata itu?

Bibi, yang kuat, ya, Nak.

*

Barata masuk ke dalam mobil dengan wajah yang kesal. Setelah menyelesaikan pembicaraannya dengan teman lamanya, Barata melihat Agniya yang duduk di pembatas parkiran mobil. Perempuan itu terlihat sangat menyedihkan denga raut yang tidak ada bahagia-bahagianya sama sekali. Kemana perginya Agniya yang ceria? Kemana semua kecerewetan yang perempuan itu miliki?

Begitu sabuk pengaman sudah Agniya pasangkan dengan baik dan benar, Barata tidak langsung mengemudikan mobil. Membuat Agniya menatap pria itu dengan mengerutkan dahi.

"Kenapa kamu harus berpura-pura seolah aku membantu kamu nggak sengaja??!" ucap Barata dengan nada tidak santainya.

"Memangnya aku harus bilang apa?" balas Agniya tanpa mau menatap Barata.

"Kamu harusnya nggak mengatakan apa pun! Aku bisa mengatakan ke temanku bahwa kamu—"

"Simpanan? Atau menantu kamu? Atau anak angkat kamu yang sedang hamil? Atau apa???"

Terlihat sekali jika Agniya sangat tertekan. Perempuan yang masuk dalam hidup Barata ini sedang tidak baik-baik saja.

Memilih mengalah, Barata diam. Mobilnya mulai bergerak dan memberikan mereka ruang untuk sama-sama saling tidak menyakiti dengan kata-kata apa pun. Meski begitu, Agniya tetap saja menangis diam-diam. Mengusap pipinya berulang kali sembari menatap ke arah jendela. Barata tahu hal itu dan tidak bisa melakukan apa-apa. Hatinya juga ikut tercabik dengan semua ini.

*

Sampai di apartemen yang Khris beli untuk Agniya mereka tidak langsung turun. Agniya terlelap sejak perjalanan yang macet. Barata tak ingin mengganggu waktu yang digunakan Agni untuk tidur itu. Dia memilih untuk diam sesaat tanpa mematikan mesin mobil. Diamatinya Agniya dan perut buncitnya.

Ya, karena sekarang Agniya tidak malu-malu lagi menunjukkan tonjolan di perutnya itu. Barata jadi memiliki banyak waktu untuk menatap bayinya yang masih akan bertumbuh semakin besar di kandungan Agni.

Menggenggam tangan Agni, Barata menggunakan kesempatan itu untuk menciumi punggung tangan perempuannya berulang kali. Dia memejam sambil mencium tangan itu dengan sayang. Entah kapan dia bisa menikmati masa-masa memeluk, menyentuh, dan mencium Agni tanpa harus takut perempuan itu menangis dan menatapnya penuh kecewa.

"Aku takut menyakiti kamu, Agni. Aku sangat takut menyakiti kamu ketika kamu bangun nanti."

Pria itu tidak melepaskan tautan tangan mereka. "Aku nggak tahu kapan lagi kamu bisa tertawa, tersenyum, dan menceritakan apa pun dengan keceriaan yang kamu punya. Aku rindu kamu yang seperti itu, Agniya."

Mengganti tangan untuk digunakan menggenggam Agniya, pria itu menggunakan tangan kirinya untuk menyentuh perut perempuannya. Dengan sayang Barata menggerakan ibu jarinya pada permukaan perut Agni. "Papa sangat menyayangi kamu, Bibi. Papa nggak mau mama kamu lari dari papa. Apa kamu bisa bantu papa, Bibi? Papa mau hidup bersama kalian, papa nggak mau kehilangan kalian."

Isak yang keluar dari Barata berusaha ditahan keras agar tidak mengganggu Agni. Pria itu memang mudah menangis jika berurusan dengan hatinya. Siapa bilang laki-laki tidak boleh menangis? Barata bahkan selalu menangis sendirian ketika kesakitan di hati sudah sangat tak terbendung lagi.

"Bantu papa supaya mama kamu bisa kembali ceria lagi, Bibi."

*

Siapa bilang Agniya tertidur sewaktu Barata mengatakan semua curahan hatinya pada bayi mereka? Agniya sudah bangun, bahkan memang tidak benar-benar tertidur karena dia hanya ingin menghindari pembicaraan dengan Barata ketika jalanan macet. Agni hanya tidak mau terlena untuk memaafkan Barata segera atau malah terlena untuk ikut menangis bersama pria itu.

Astaga, Barata ternyata sangat cengeng. Meski setelah beberapa saat pria itu bersikap seolah tidak ada yang terjadi, Agni tetap bisa melihat bekas airmata yang tersisa di sudut mata pria itu.

"Aku mau sesuatu," kata Agniya tiba-tiba.

Barata yang semula mengganti-ganti siaran televisi langsung sigap berdiri mendapati perempuannya keluar dari kamar dan mengatakan keinginannya.

"Mau apa? Akan aku belikan!"

Melihat betapa antusiasnya Barata, mengurungkan niat Agniya yang semula ingin mengatakan bahwa dia ingin pria itu pergi dari tempat tinggal Agni kini. Agni mengganti kalimat itu dengan sesuatu yang mungkin lebih menyulitkan dan bisa membuat Barata lelah.

"Aku mau soto Bogor."

"Oke, akan aku carikan."

Barata sigap mengambil kunci mobilnya. Namun, segera gerakannya tertahan dengan lanjutan kalimat Agni. "Tapi soto Bogor yang dari Bogor beneran."

Itu ... rasanya permintaan yang tidak masuk akal. Dari Jakarta ke Bogor? Sudah seperti apa rasa soto tersebut ketika sampai di apartemen?

"Bogor beneran? Maksudnya aku harus beli ke daerah Bogor? Bukan rumah makan yang menyediakan soto Bogor?" Agniya menganggukkan kepala.

"Sayang, kamu—"

"Jangan panggil aku sayang dan aku mau soto Bogor yang asli dari sana, bukan dari rumah makan yang sedia soto Bogor aja!"

Barata tidak sempat menyangkal apa-apa karena Agniya sudah berbalik dan mengurung diri di dalam kamar lagi. Pria itu tak diberikan waktu untuk meminta keringanan. Menghela nafas, Barata mempertimbangkan apa iya dia harus membelah jalanan menujur Bogor hanya demi permintaan Agniya yang sementara saja itu?

[Kalau Ndoro sudah berkehendak, kacung bisa apa? 😌]

Sweetest Daddy/ Tamat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang