32. Double Shit

6.9K 1K 117
                                    

The Sweetest Daddy

Double shit

[]

Agniya menangis tanpa bisa mengendalikan dirinya setelah mendengar kisah yang Barata sampaikan. Mengapa kisah itu terlalu rumit untuk didengar? Kenapa bukan hanya kehidupan Agniya saja yang tidak karuan? Kenapa Agniya harus mendengar kisah sedih juga dari Barata?

"Aku nggak ngerti kenapa kamu nangis sampai sebegininya? Agniya, coba jujur, apa yang membuat kamu menangis seperti ini?"

Melayangkan tatap pada Barata yang menagih tanya karena kebingungan, Agni memberikan tangannya guna mengusap wajah pria itu. Agniya mungkin tidak sadar ketika melakukannya. Namun, Barata berharap agar hal itu dilakukan oleh perempuannya karena Agni sudah memaafkannya dan akan kembali bersikap sayang padanya.

"Kita ini, adalah dua orang yang punya luka." Agni memulai bicara. "Kekacauan ini nggak akan berhenti kalau nggak ada keputusan yang jelas juga untuk dilakukan."

Barata yakin bahwa Agni akan mengatakan untuk berusaha bersamanya. Katakan kamu ingin kita berjuang, Agni. Katakan.

"Harusnya memang aku nggak masuk dalam hidupmu. Kita nggak ditakdirkan untuk bersama, aku nggak mau anakku memiliki pengalaman yang sama dengan apa yang aku, kamu, dan Khris rasakan."

"Apa???"

Agniya semakin meninggikan suara tangisnya. "Aku memang pengganggu di dalam keluarga kamu. Aku menyakiti banyak pihak, khususnya anak kamu." Agniya menggeleng tak mau bayangan di kepalanya menguasainya dengan kenyataan. "Aku nggak mau anakku merasakan apa yang Khris rasakan."

Ini adalah pembicaraan acak yang membuat Barata kecewa. Dia berusaha jujur pada Agniya mengenai apa yang terjadi dalam keluarganya, rumah tangganya dan Trisha. Namun, Agniya justru memikirkan hal yang bahkan belum terlihat akhirnya. Tidak ada yang bisa menebak dengan benar mengenai masa depan, lalu mengapa Agniya harus mengatakan kemungkinan yang menyakitkan?

"Aku nggak mau membuat anak ini merasakan sakit yang lebih dengan kondisi kita yang begini! Aku ... lebih baik kamu nggak mengenal sama sekali anak ini. Sudahi semua ini, nggak ada gunanya kamu mengatakan fakta mengenai kamu dan istrimu. Karena aku nggak mau ada kejadian yang—"

"Justru anak kita akan merasakan sakit yang lebih besar kalau dia nggak tahu siapa ayahnya. Aku nggak akan membiarkan dia lahir tanpa sosok ayah, Agniya. Kamu dengar, aku akan berusaha untuk kalian dan nggak ada lagi halangan untuk jalan kita bersama. Jangan paksa dan dorong aku untuk menjauh dari kamu dan anakku sendiri!"

"Tapi akan ada masalah lain kalau kita tetap bersama!"

Barata berdiri dan membalikkan tubuhnya. Tak mau bila berdebat sembari menatap Agniya bisa membuatnya malah semakin mengatakan hal diluar kendali. Barata tidak mau mengulang kesalahan.

"Sudah. Aku akan mencari cara untuk kita bersama, Agni. Jangan mengatakan hal tidak masuk akal lagi." Barata memberikan waktu bagi Agni untuk menangis. "Aku akan memberikan kamu waktu sendiri. Aku akan bawakan sotonya ke sini, supaya kamu nggak perlu naik turun."

Kali ini Barata juga tak mau meninggalkan Agniya tanpa mengatakan apa yang ingin dilakukan olehnya. Semua ini hanya akan terus berulang jika Barata tak segera mengambil keputusan. Ya, keputusan yang seharusnya sudah lama dia ambil untuk memerdekakan diri sendiri.

"Aku akan menceraikan Trisha."

*

Barata mengambil waktu sendirian sebisa yang dia rasa mampu mengatasi pikirannya yang carut marut. Dia yakin bahwa semua hal bisa diatasi dengan kepala yang dingin dan tenang. Sudah pasti banyak keluhan yang akan terus muncul ke permukaan dari Agniya. Itu karena Agni masih sangat ragu apa yang bisa Barata lakukan dengan statusnya yang masih menjadi suami orang lain. Sudah bulat, Barata akan mulai membicarakan mengenai perpisahan dengan Trisha setelah pulang dari Bogor. Ya, semakin cepat semakin baik. Meski bisa saja Barata mengatakannya melalui telepon, tapi itu sangat tidak etis. Membicarakan perpisahan dari telepon? Jika itu terjadi, dirinya pasti sudah gila.

Baru saja memperkirakan mengenai panggilan telepon, kini Khris menghubunginya tanpa tahu apa yang ingin anak itu sampaikan.

"Ya, Khris?"

"Agniya ke mana?"

Pertanyaan pertama Khris bahkan nama Agniya. Hal ini sedikit mengusik Barata yang merasa jadi memiliki saingan. Konyolnya jika memang iya, saingan itu adalah anaknya sendiri.

"Sama papa. Kenapa kamu cari Agniya?"

"Aku yang bertanggung jawab dengan bawa dia ke Jakarta. Biasanya dia cuma di apartemen tanpa tahu arah ke manapun. Wajar kalo aku nanyain dia ke papa. Jangan sampai dia nyasar dan berniat kabur. Papa ingat, kan, ada anak papa yang lagi dia kandung? Jangan sampai ada kondisi yang"

"Agniya sehat, Khris. Bayinya juga. Papa sudah periksakan kandungannya ke rumah sakit. Semuanya baik. Terima kasih karena kamu mengkhawatirkan kondisi adik kamu, Khris."

Barata tahu decakan dari bibir Khris adalah karena merasa disindir supaya sadar bahwa Agniya adalah ibu dari adik lelaki itu. "Papa nggak usah, cemburu. Aku nggak tertarik sama Agniya ke arah sana. Aku cuma nggak mau papa salahkan lagi kalo sampai ada apa-apa sama Agni."

"Papa nggak menyalahkan kamu, Khris. Papa justru berterima kasih, karena semua usaha kamu, papa bisa memikirkan keputusan yang harusnya sudah lama papa lakukan."

Ada jeda yang membuat kedua pria itu merasakan hawa tak menyenangkan. Seperti sebuah ancaman yang membuat masing-masing dari mereka merasa perlu membentengi diri.

"Papa akhirnya akan mengambil keputusan itu?"

"Kamu tahu keputusan apa yang akan papa ambil?"

Napas Khris terdengar memberat, beban berat bagi anak lelaki Barata itu karena harus mengikhlaskan kondisi kedua orangtuanya. "Bercerai dengan mama. Apa lagi?"

Ya, tentu saja. Itu yang harus dilakukan oleh Barata. "Kamu oke dengan keputusan itu?"

"Oke nggak oke. Oh, ya. Papa bawa Agniya ke mana?"

"Bogor."

"Bogor??? Ngapain, Pa??"

"Dia mau makan soto Bogor. Awalnya papa yang disuruh beli, tapi akhirnya Agni labil dan nyusul papa." Barata menepuk keningnya. "Ya, ampun, Khris! Papa lupa bawain sotonya. Sudah, ya. Nanti lagi."

Barata segera memutus panggilan tersebut. Segera dia mengambilkan soto Bogor untuk Agniya dari restoran hotel yang kebetulan menyediakan menu tersebut. Dengan segala kuasa yang dia miliki, soto itu bisa dibawakan oleh pelayan menuju kamarnya dan Agniya yang sudah pasti menunggu.

"Istrinya sedang hamil, ya, Pak?" tanya si pelayan dengan ramah.

"Iya, Mas. Biasalah, dari Jakarta ke Bogor buat makan sotonya aja."

Pelayan pria itu tersenyum. "Dulu istri saya juga gitu, Pak. Kalo udah ada makanannya, yang makan bukan dia tapi saya."

Barata merasa kalah pengalaman dari si pelayan. Bagaimana tidak, ini pengalaman pertama Barata begitu direpotkan oleh kemauan perempuan hamil. Jika saja dirinya dan Trisha adalah pasangan normal, hal semacam ini tidak akan terjadi.

"Sampai sini saja, Mas. Saya nggak mau dikira nggak cari sendiri sotonya." Kata Barata dan segera memberikan tip untuk pelayan tersebut.

Setelah mengucapkan terima kasih dan pergi, Barata membuka pintu dan mendapati Agniya yang setengah telanjang membelakanginya. Double shit.


[Gaes, gaes, gaes. Mohon diingat, yes. Cerita ini bukan cerita religi, dimana kedua tokohnya begitu suci. NGGAK! Jadi, konsekuensi kalian masuk sini, ya nemu tokoh penuh dosa dan brengsek, bangsat, gitu"lah. Kalo keberatan, silakan mundur. #Apalah tokohku yang hobi zina.]

Sweetest Daddy/ Tamat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang