📖 Chapter 24 📖

340 19 0
                                    

"Ini kunci rumah kamu. Mulai sekarang tinggallah di rumah itu. Jangan terus tinggal di apartemen. Gak baik."

Layaknya nasihat orang tua kepada anaknya, Al mendengarkan setiap perkataan ayahnya.

"Satu-satunya orang yang ngertiin Al cuma ayah. Ayah gak pernah nuntut apapun dari Al. Gak seperti mama. Tapi kali ini ayah sependapat sama mama. Apa ini bikin Ayah bahagia?"
Edno menganggukkan kepalanya. Pria itu selalu membela Al apapun masalah yang di hadapi putranya. Sekalipun harus bertengkar dengan Gea istrinya. Kali ini dia sependapat dengan ibunya. Itu artinya Ayahnya memang benar-benar menginginkannya.

"Al bakal lakukan yang terbaik sesuai keinginan ayah. Al bakal....."

"Ayah mau cucu."

"Apa yah?!" Al menjawab cepat perkataan ayahnya.  "Ayah bercandakan?"

Edno menggeleng. "Ayah serius. Dokter memprediksikan umur ayah gak panjang lagi. Jadi sebelum ayah pergi, ayah mau punya cucu. Dari kamu dan Fyona."

"Ayah apaan sih. Dokter itu bukan Tuhan yah yang bisa prediksi umur manusia. Tugas dia cuma ngobati orang sakit. Ayah pasti sembuh kok." Meskipun tidak terima dengan perkataan ayahnya barusan. Pria itu tetap saja berkata lembut. Tidak ingin membuat Ayah nya semakin kepikiran.

Baru sebulan yang lalu Al mengetahui jika Ayahnya terkena kanker. Tidak tahu kanker apa, Al hanya menemukan surat keterangan dokter itu di remas lalu di buang di tempat sampah. Sejak itu dia berjanji akan selalu memenuhi permintaan ayahnya. Itu juga yang menjadi alasan dia sering tidak masuk.

"Yah, tapi..."

"Sekolah kamu bisa kamu lanjutin. Nanti Fyo home schooling, biar ayah yang urus."

"Tapi ayah kan tahu sendiri gimana Fyo sama Al dulu. Dan sekarang Al juga masih berusaha ngambil hatinya. Gimana ceritanya Al buat dia hamil. Yang ada Al bakalan di bunuh sama dia."

"Ya itu tugas kamu sebagai suami." Singkat, padat, gak jelas sama sekali. Setelah mengatakan itu, Edno meninggalkan Al yang diam di dalam kamar apartemennya.

Dia menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Perkataan ayahnya terus saja berputar di atas kepalanya.
Haruskah dia memenuhi pemintaan ayahnya yang mungkin bisa saja permintaan terakhirnya. Tapi bagaimana caranya bicara dengan Fyona. Jangankan untuk meminta hal gila yang tentu saja dia tidak mau. Bicara berdua saja kadang masih suka bertengkar. Walau terkadang Fyona juga baik. Wanita itu sulit di tebak. Yang kelihatanya baik ternyata ujung-ujunganya mengajak perang.

Al bergegas mengganti seragam sekolahnya menjadi pakaian biasa. Celana jeans hitam. Kaos hitam di balut dengan kemeja yang tidak dia kancingkan serta sneakers yang melengkapi penampilannya.

Dia meraih kunci mobilnya melesat menuju sekolah. Apalagi tujuannya kalau bukan menghampiri Fyona, yang sudah dua tahun menjabat sebagai istri sekaligus mempererat tali permusuhan keduanya. Tapi tidak untuk dua minggu terakhir ini. Keduanya terlihat lebih akur dari biasanya.

Jam sudah menunjukkan pukul 15:20. Dia tahu Fyona masih di sekolah karena hari ini mereka mengadakan rapat dengan anggota osis membahas perpisahan kelas. Meskipun masih lama, tapi setiap tahunnya SMA Citra Bangsa selalu menjadi contoh teladan bagi kebanyakan sekolah. Baik dalam penampilan, kreatifitas dan sebagainya.

Al memarkirkan mobilnya di parkiran dan bergegas menuju ruang osis. Sangat ramai siswa di sana yang bersiap akan pulang. Tapi kehadiran Al menghentikan aktifitas mereka, kecuali Fyona. 

"Panggilan kepada Fyona, suaminya menunggu." Berdiri di depan pintu dengan kedua tangan yang dia lipat di depan dada. Menjadi daya tarik tersendiri. Di tambah penampilannya yang biasa tapi terlihat sangat tampan.

Mama Papaku Crazy!! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang