"Dasar lo ya, gak ada yang pada ngingetin gue."
Fyona mengomel kesal pada dua sahabatnya. Baru teringat kalau hari ini mereka akan ulangan. Tahu begitu tidak akan Fyona izinkan mereka semua bermain kartu di rumahnya.
Walaupun Fyona adalah anak yang cerdas, dan mampu memahami materi hanya sekali baca. Tetap saja dia manusia yang suka lupa. Hari ini ulangan dan dia tidak belajar."Gue hajar lo satu-satu kalau nilai gue turun." Fyona terus mengomel padahal dia sedang membaca. Bisa gitu ya?
"Nilai lo gak bakal turun Fyo, elo udah pinter dari orok. Gimana nasib gue yang gak pernah belajar ini." Rara adalah tipe manusia paling beruntung di muka bumi ini. Tidak pernah belajar, tau - tau naik kelas. Tidak pernah belajar, tau-tau tuntas saat ulangan, ya walaupun nilainya pas makan.
Seperti saat ini. Fyona dan Gisel bahkan terus berkomat kamit menghapalkan rumus - rumus fisika. Maklum mereka orang pinter. Sedangkan Rara? Gadis itu justru santai berselancar di dunia maya dengan ponselnya.
"Kalian bacanya yang bener, jangan sampai salah. Konsentrasi, nanti kasih gue contekan. Oke." Tanpa dosa Rara menyengirkan senyumnya. Dasar!
Rara adalah kita semua saat ulangan. Huehehehe....
Bukannya membuka buku, dia bahkan kembali serius dengan ponselnya. Sebegitu menarikkah ponselnya itu, padahal hari ini ulangan dari pak Bronto. Satu - satunya guru yang terkenal lebih killer dari guru ter killer?
"Semua buku masukkan ke dalam tas. Lalu letakkan tas kalian semua ke depan sini." Suara tiba-tiba pak Bronto membuat seluruh penghuni kelas berhamburan. Menempati kursi masing-masing.
Tidak ada satupun murid yang berani main - main dengan pak Bronto. Dia guru yang sangat tegas. Jika di bilang salah ya salah, jangan pernah membantah. Baginya lebih baik jujur. Kalau tidak tahu ya katakan saja. Jangan pura-pura tahu padahal tidak tahu apa-apa.
Dulu pernah ada siswa yang kedapatan melihat buku saat ulangan. Al hasil orang itu harus memilih antara dua pilihan. Membuat proyek fisika, atau ulangan kembali. Tapi tiga kali ulangan dalam sehari di ruang kepala sekolah dengan tingkat soal yang semakin sulit setiap jenjangnya.
Memang tidak sedikit orang yang berhasil setelahnya jika sudah di bimbing beliau. Tetap saja cara mengajarnya menyeramkan. Bagi mereka yang malas belajar. Bagi mereka yang suka belajar. Pak Bronto tidak pernah pelit membagi ilmunya.
"Absen 1 sampai 16, tetap di kelas sisahnya silahkan keluar." Mendengar itu spontan semua membulatkan mata. Tidak pernah pak Bronto membagi siswa menjadi dua bagian. Beruntung Rara masih satu ruangan dengan Fyona. Jika tidak, tamat riwayatnya.
"Diah Avera." Dari kursi kebesarannya pak Bronto memanggil Rara. Melihat wanita itu dari balik kacamatanya yang melorot.
"Ia pak."
"Apa pensilnya enak. Kenapa kamu gigit terus?" Semua orang memperhatikan Rara. Wanita itu hanya bisa tersenyum.
"Pak rumus soal nomor tiga apa ya pak. Saya lupa."
Pak Bronto tersenyum sambil membenarkan letak kacamatanya. "Kamu tidak belajar tadi malam?"
"Saya lupa pak. Kami bertiga lupa kalau hari ini ulangan. Jadinya malah ke asyikan main." Jujurnya.
Pak Bronto bangkit dari kursinya lalu mencatatkan rumus di papan tulis. Dia lebih senang jika muridnya bertanya dari pada melihat buku. Pak Bronto akan senang hati memberitahu. Tapi mereka semua hanya memiliki tiga kesempatan bertanya. Satunya sudah Rara pakai, tersisah dua kesempatan lagi.
"Terimakasih bapak ganteng." Girangnya. Fyona dan Gisel hanya menggeleng kepala saja. Beruntung juga Rara bertanya rumus nomor tiga. Mereka berdua juga tidak tahu.
Tiga puluh menit berlalu. Satu persatu dari mereka mengumpulkan lembar soal dan jawaban mereka lalu keluar.
"Pak, boleh saya minta satu soalnya? Saya mau bahas dengan mereka. Ada beberapa soal yang saya tidak yakin jawabannya." Pak Bronto memberikan selembar soal kepada Fyona. Jika kelas lain yang minta, pak Bronto tidak akan memberikan soal tersebut karena akan di gunakan untuk kelas lain juga. Tapi kalau kelas Fyona. Pak Bronto dengan senang hati jika ada yang meminta sisah soal untuk mereka pelajari, karena tingkat kesulitan soalnya kelas 12 IPA 1 sangat jauh di atas kelas IPA lainnya. Alasannya karena katanya mereka kelas unggulan jadi harus lebih sulit dari yang lain.
****
"Fyo, nikah muda enak gak sih?" Rara sedikit berbisik takut ada yg dengar sekalipun kantin belum ramai karena memang belum istirahat. Mereka yang selesai gelombang 1 boleh istirahat lebih dulu kata pak Bronto.
"Kenapa lo nanya gitu tiba-tiba. Udah kebelet loh." Gisel menjawab pertanyaan Rara sambil menyeruput jus yang dia pesan tadi.
"Gue butuh solusi ni. Gue mau curhat sama lo berdua." Rara adalah tipe orang yang santai. Apapun itu masalahnya. Jika dia serius, itu artinya masalah yang dia hadapi sulit atau mungkin sangat sulit.
"Apaan?"
"Janji jangan kasih tau siapapun."
Keduanya mengangguk setuju. Mereka bersahabat, tidak mungkin akan membocorkan rahasia yang berusaha mereka tutupin.
"Gue di jodohin." Katanya dengan suara serak menahan tangis.
"APA.!!?" Keduanya kompak berteriak, setelahnya mereka pelankan kembali karena tatapan dari penghuni kantin.
"Kok bisa?"
"Bukan sama aki-aki kaya kan?" Fyona memukul lengan Gisel.
"Gue gak tau. Bunda gue ngasih taunya tadi malem kalau gue mau di jodohin sama anak temennya."
"Kok kisahnya kayak gue sih? Orang tua gue malah maksa gue nikah biar punya anak. Lah elo malah ikutan di jodohin. Sebenarnya ada masalah apasih orang tua kita?" Fyona memeluk Rara yang sesenggukan di ikuti Gisel yang memeluk Fyona karena memang Fyona duduk di tengah.
"Gue harus gimana sekarang. Sabtu bunda ngundang keluarga mereka ke rumah. Sekalian nunggu temennya yang tinggal di Belanda itu."
"Calon lo bule?"
"Enggak, kata bunda dia orang Indonesia, cuma bokapnya orang Belanda."
"Coba nanti elo ketemu dulu sama dia. Terus lo bicara baik-baik sama dia. Gue yakin tu cowok juga gak setuju sama keputusan orang tua kalian. Kayak gue dulu."
"Setuju Fyo, dia setuju. Dia mau nikah sama gue. Malah dia lagi yang minta sama bunda kalau bisa di percepat tanggalnya. Bunda udah duluan ketemu mereka."
"WHATTT, beneran aki -aki pasti Ra. Istrinya udah tiga. Lo jadi istri ke empatnya." Bukanya ngasih saran, Gisel malas terus membuat down Rara.
"Gue juga dulu gitu. Ngerasain apa yang lo rasain. Bedanya gue sama Enza gak saling suka, melainkan sama-sama benci. And then, you look. I'm very like him."
"Terus gue gimana?"
"Gini aja deh, lo coba bicara dulu sama dia. Lo coba kenalan dulu. Nanti baru lo putusin hasilnya. Kalau langsung lo nolak, pasti ortu lo bakalan marah besar sama lo. Apalagi bisnis bokap lo bakalan ke ganggu. Jadi anak, kita memang harus berbakti. Tapi kalau urusan masa depan. Lo harus pikirin baik-baik. Memang gue pernah denger istilah pilihan ibu adalah yang terbaik. Tapi, mending lo kenalan dulu. Kalau bisa lo racuni semua keluarga lo. Bicarakan yang buruk-buruk soal dia. Biar ortu lo gak jadi nikahin lo."
Rara mengagguk setuju dengan pendapat Gisel. Tapi Fyona justru tidak setuju dengan ide cemerlang Gisel.
"Kalau ketauan yang malu juga keluarganya Rara. Lo ada-ada aja sih ngasih saran."
"Ya jangan sampai ketauan Fyo. Pinter dikit kek jadi orang."
Fyona memanyunkan bibirnya kesal. Tidak terasa mereka berbicara terlalu lama hingga bel istirahat berbunyi dan seluruh penghuni sekolah berhamburan keluar dari sarang masing-masing.
AlinKheil 🐰
Medan, 21807
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama Papaku Crazy!! [END]
Ficção AdolescenteSekolah-Kuliah-Kerja-sukses-Menikah-Hidup Bahagia. Kebanyakan orang memiliki rute masa depan yang cerah seperti itu. Tapi apa jadinya jika Kedua orang tuamu memaksamu menikah dan harus memiliki anak di usia yang bahkan kamu sendiri baru tamat SMP? ...