📖 Chapter 11 📖

409 25 0
                                    

Bel istirahat sudah lima menit yang lalu berkumandang. Seluru penghuni kelas sudah berhamburan keluar kelas mencari sasaran. Apalagi kalau bukan kantin.

Sama halnya dengan Al beserta antek-anteknya. Jam sejarah merupakan waktu yang sangat membosankan. Ngantuk lagi.

Kelvin dan Gion keluar lebih dulu. Disusul dengan Dero dan terakhir Al. Pria itu selalu keluar paling akhir. Biasa, para penggemarnya selalu memberinya hadiah. Sekalipun Al selalu menolak, tetap saja penggemarnya selalu datang memberinya hadiah. Heran!

Setelah itu baru dia menyusul yang lainnya di kantin. Ekor matanya tidak sengaja melihat Fyona yang sedang merebahkan tubuhnya di atas meja. Dengan seragam yang sudah berganti menjadi pakaian olahraga dan lengannya yang terbalut perban.

Ternyata lukanya cukup panjang.
Rasanya dia menyesal. Perkataan Dero tadi selalu terputar di memori kepalanya. Benar yang Dero katakan. Fyona nya selalu terluka setelah menikah dengannya. Tidak heran Kelvin selalu marah setiap kali wanita itu mendapat luka baru.

Al mengayunkan kakinya memasuki kelas Fyona yang sepi. Berdiri tepat di samping wanita itu. Tanpa bicara sedikit pun.

Fyona yang sadar sedang di perhatikan, dia mengangkat kepalanya sekedar melihat. Lalu kembali lagi menyembunyikan kepalanya di antara tangannya yang di lipat.

Tanpa perintah Al duduk di sebelahnya. Entah keberanian dari mana, tangannya mengelus rambut Fyona yang sengaja dia gerai.

"Maaf ya."

Fyona kembali menegakkan kepalanya. Dia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. "Mending lo pergi. Gue males liat muka lo." Kalau Fyona sudah bicara dengan menggunakan lo-gue dengan Al, itu artinya dia sudah sangat kesal.

"Maaf. Aku salah udah buat kamu selalu terluka gini."

"Udah deh Za, gue muak liat lo. Mending lo pergi sana. Menjauh bila perlu gak usah kelihatan lagi."

Perkataan ketus seperti itu rasanya sudah sangat biasa Al dengar. Tapi kenapa saat ini rasanya sangat menyesakkan?

Bagai di hantam batu besar. Al sangat menyesal. Rasanya Al ingin memeluk Fyona, meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tapi, bukan kah itu aneh?!

"Aku tau selama ini aku sangat keterlaluan sama kamu....."

"Bagus tau!" Katanya berusaha menggeser meja. Kebetulan dia duduk di paling pinggir. Tapi tidak berhasil karena Al menahannya.

"Oke aku salah. Aku minta maaf."

"Atas dasar apa lo minta maaf sama gue. Selama ini lo gak pernah tu minta maaf atau apapun itu setiap gue terluka. Atau lo udah mau mati, jadi minta maaf sama gue? Wah gue harus bahagia dong, gak bakal punya suami kayak lo lagi." Ketusnya.

"Mending lo cari kesibukan lain, jangan ganggu gue. Ngerti?!" Fyona mendorong kasar meja yang menghalangi jalannya. Bahkan dia tidak perduli sekalipun meja itu membentur lutut Al.

Dia menjauh. Kebetulan juga Kelvin datang dengan kantung plastik yang Fyo yakin isinya makanan.

****

"Ya, gue sih gak bisa kasih saran lebih. Cuma ya kalau bisa jangan. Ya walaupun gue juga tau kehidupan kalian berdua itu gimana gue tau. Tapi apa gak bisa lo pertimbangkan lagi. Gue lihat Al juga udah mulai suka sama lo."

Rara memasukkan potongan kentang ke dalam mulutnya. "Lagian ni ya. Lo mau janda sebelum tamat sekolah?" Dia menggelengkan kepala dan kembali memasukkan kentang ke dalam mulutnya.

Fyona menghembuskan perlahan napasnya. "Gak ada ceritanya orang suka tapi selalu melukai. Semua luka di badan gue ini karena dia asal lo tau."

"Kalau gue sih, ya terserah sama lo aja. Cuma gue juga setuju sama Rara." Gisel menjauhkan jus yang dia minum. "Citra janda itu buruk banget. Apalagi kalau rahasia lo ini sampai nyebar kemana-mana. Elo juga yang rugi. Tapi Al juga makin hari makin kelewatan sih. Cara dia nunjukin sukanya dia ke elo itu salah."

Boleh tidak sih durhaka pada orang tua? Fyona ingin mengumpat rasanya. Tapi bukan ciri khas dirinya sekali.

"Mending kita have fun aja yuk. Kepala gue sakit setiap kali bahas cucu dajjal itu."

Gisel menyikut lengan Fyona. "Mertua lo. Ke sini." Fyona membulatkan matanya. Cepat-cepat dia membersihkan mulutnya dari sisah makanan.

"Fyona, ayah tebak habis cari buku pasti." Tatapan matanya melihat paper bag berisi buku-buku yang masih baru.

Meski kesal dengan orang di sebelah ayahnya itu, dia tidak bisa kesal pada ayah mertuanya. Orangnya baik, sangat baik malah. Tidak seperti orang tuanya sendiri yang gila anak.

"Ayah, ia. Ayah dari mana. Udah makan?" Terkadang Fyona lupa. Siapa orang tuanya sebenarnya. Setelah mengenal Edno. Dia bahkan lebih lengket dengan ayah mertuanya itu dari pada orang tuanya sendiri.

"Udah sayang. Tangan kamu kenapa?" Fyona melirik Al.

"Cuma kurang hati-hati aja yah. Tadi waktu ke perpus gak sengaja kena baret. Lecet deh sedikit. Fyo pendek, jadi ya gini." Katanya. Dia berusaha menetralkan dirinya supaya tidak gugup. Bisa ketahuan kalau sampai lensa matanya berubah nanti.

"Kok bisa sampai kebaret sih. Ini panjang loh lukanya. Kamu manjat-manjat pasti. Udah ayah bilang, kalau kamu gak bisa panggil Al. Apapun itu tugasnya. Ya, ayah gak mau kamu dapat luka baru lagi setiap kita bertemu." Katanya mengelus sayang puncak kepala Fyona.

"Kamu juga. Gak berguna sekali jadi laki-laki." Lanjutnya menedang kaki Al.

"Ia ayah. Al janji deh, bakal lengket sama Fyo setiap saat. Biar gak lecet lagi." Al sengaja memegang tangan Fyona yang di perban. Lagi-lagi rasa bersalah menyeruak di hatinya. Luka di siku tangannya waktu itu saja masih berbekas.

Al membawa tangan Fyona kedepan mulutnya. Mengecupnya lalu mengelusnya kembali.

"Ya sudah kalian lanjut saja. Ayah pulang duluan. Kamu sama Fyo aja. Sekalian nanti kalian pulang bareng."

"Ayah siapa yang antar?"

"Ayah bisa bawa mobil sendiri Fyo. Kamu ingat, jangan terluka lagi. Dan kamu,, " Edno sengaja menjeda kalimatnya sekedar untuk menendang kaki Al. "Jagain menantu ayah. Awas kalau sampai lecet." Setelahnya Edno pergi.

Sepeninggalan Edno, Fyona menghempaskan kasar genggaman tangannya yang masih di pegang Al kemudian pergi. Mengabaikan dua sahabatnya serta Al yang terdiam melihat perlakuan Fyona.

"Kenapa lo liat gue, susulin sana istri lo. Makanya kalau suka itu bilang, jangan ngusilin mulu kerjanya."

Al yang semula ingin menyusul Fyona terhenti sejenak menatap Gisel.
Kalimat yang Gisel katakan tadi bukan pertama kalinya dia dengar. Sudah berkali-kali malah. Para sahabatnya juga selalu berkata seperti itu. Tapi dia sendiri tidak yakin. Berkali-kali Al menepis pikirannya.

"Gue tau lo mulai suka sama dia. Kejar sana selagi dia masih milik lo. Penyesalan selalu datang terlambat." Gisel menepuk bahu Al dan pergi bersama Rara.




















AlinKheil 🐰
Medan, 21515

Mama Papaku Crazy!! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang