Di dunia ini tidak ada yang namanya kekal. Hidup hanya sementara. Harta hanya titipan. Jika Tuhan membawamu bersamanya, apa yang akan menuntun mu? Amalan baikmu yang akan menuntun mu ke surga Nya.
Hari ini rintikan hujan terus saja berlomba saling berebut siapa dulu yang akan menyentuh atap. Sejak kepergian Al ke bandara menjemput Ayahnya.
Yah, ayah nya telah tiada. Ayah kebanggaan mereka. Ayah yang selalu membela mereka dari paksaan orang tua yang gila. Ayah yang selalu mendukung penuh setiap keputusan Al maupun Fyona. Semalam Tuhan membawanya. Dellon menghubunginya semalam dan hari ini dia bersama pamannya untuk menjemput di bandara.
Tangisnya terus pecah saat peti mati mulai di masukkan ke dalam ambulan.
Rasanya baru semalam Al tertawa bersama ayahnya. Hari ini tidak akan ada lagi.
"Yang sabar ya Al." Dellon menepuk bahu Al. Dia ingin sekedar mengatakan terimakasih. Tapi bibirnya sulit di gerakkan.
Suasana duka menyelimuti kediaman orang tua Al. Banyak pengunjung datang untuk melihat Edno untuk yang terakhir kalinya.
Gea, wanita itu masih terbaring di kamar dengan selang infus yang tertancap di tangannya. Al sudah memberitahukan kepada ibunya. Dalam hati dia terus merapalkan doa supaya hal buruk tidak terjadi pada ibunya.
Gea syok itu sudah pasti. Pria yang menemaninya selama hampir dua puluh tahun, pergi untuk selamanya.
Al bersyukur, keterkejutan Gea tidak sampai membahayakan jantungnya.
Suara tangis kembali pecah saat peti mulai di buka. Memperlihatkan wajah pucat Edno dan tubuh yang sangat kurus.
Sahabat Al, mereka terus sibuk melayani tamu. Sedangkan Dero, pria itu setia menemani Al yang berdiri di samping peti ayahnya.
"Ini memang cobaan terberat. Tapi lo harus iklasin ayah Ed Al. Ayah udah gak sakit sekarang. Ayah udah sembuh." Dero menepuk bahu Al.
"Thank's."
Di lain tempat, tepatnya di dalam kamar. Rara dan Gisel kebingungan dengan Fyona yang diam saja. Berbeda dengan Gea yang menangis meraung-raung di depan sana. Fyona justru lebih memilih diam sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit itu.
Keduanya saling pandang. "Fyo, lo jangan diem aja dong. Gue takut ini." Rara sedari tadi uring-uringan di buat Fyona yang diam.
"Setiap yang bernyawa pasti akan pergi. Tuhan lebih sayang sama om Ed. Dia tidak ingin melihat om Edno menahan sakit terlalu lama. Lo harus iklasin om Ed, Fyo. Ada anak lo di dalem. Lo harus pikirin dia. Kalau lo terus - terusan kayak gini, yang ada elo sendiri yang bakal celakain dia. Karena egois lo. Lo bahayakan anak lo sendiri."
Perlahan Fyona menatap Gisel. Untuk yang kesekian kalinya air matanya turun begitu saja.
Benar, dia masih belum ikhlas dengan kepergian ayah mertuanya itu. Meskipun mereka baru bertemu beberapa tahun lalu. Tapi Fyona sangat menyayangi ayah suaminya itu.
"Lo makan ya, dari tadi malem lo gak makan. Kasian anak lo. Kasian Al. Om Edno pasti juga kecewa punya menantu kayak lo. Ya, makan ya."
Fyona menatap malas piring yang Rara pegang. Sungguh, dia sangat tidak berselerah. Tapi benar yang dua sahabatnya itu katakan. Ada tiga calon anaknya di dalam. Dia tidak bisa egois. Ayah Ed pasti akan marah padanya.
"Thank's ya. Kalian memang sahabat gue." Fyona memeluk keduanya.
****
"Kenapa gak sekalian aja kalian bunuh dia di sana, hah. Biar sekalian di kuburin. Saya nyuruh kalian kesana itu buat bunuh dia. Bukan ikutan melayat." Entah sudah keberapa kali tongkat golf dia layangkan ke tubuh dua anggotanya.
Tidak perduli seberapa sakit. Tidak perduli terluka atau tidak. Yang terpenting kemarahannya harus terlampiaskan."Tuan di sana ramai sekali orang. Kita tadi juga sedang mencari waktu yang pas. Tapi yah, dia ...."
"Kelamaan. Semakin lama dia hidup. Rasa benci saya semakin besar dan sakit hati saya semakin dalam. Dia pembunuh. Tidak pantas hidup!"
Dua pria bertubuh besar bergidik ngerih mendengar perkataan tuannya itu. Mereka belum pernah melihat tuannya sampai sebegitu nekatnya ingin menghabisi nyawa seseorang. Dan ini juga tugas pertama mereka untuk menghabisi nyawa orang lain.
"Tapi tuan...."
Prankkk
Suara pria itu kembali tertahan. Dia tidak lagi berani menyangkal perkataan tuannya. Timah panas itu selalu berhasil melewati samping pipinya dan berujung dengan guci atau perabot lain yang pecah.
"Kalian mau melakukannya atau tidak? Peluruku masih ada sepuluh lagi di dalam pistol ini. Cukup untuk membunuh kalian berdua." Pria itu mendekatkan ujung pistolnya ke dada kiri pria besar dengan rambut yang di kucir. Bersiap menarik pelatuk.
"Ia ... Ia tuan. Kami pasti akan lakukan." Sebelah sudut bibirnya terangkat. Pria itu menjauhkan pistolnya dari pria tadi. Menepuk bahunya dua kali kemudian pergi meninggalkan mereka dengan ruangan yang sangat kacau.
Medan, 211013
AlinKheil 🐰
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama Papaku Crazy!! [END]
Novela JuvenilSekolah-Kuliah-Kerja-sukses-Menikah-Hidup Bahagia. Kebanyakan orang memiliki rute masa depan yang cerah seperti itu. Tapi apa jadinya jika Kedua orang tuamu memaksamu menikah dan harus memiliki anak di usia yang bahkan kamu sendiri baru tamat SMP? ...