"Apa?? Kok bisa?"
Fyona adalah satu-satunya orang yang belum tahu kabar mengenai kehamilan Rara. Tapi justru kabar buruk yang dia dengar sekarang.
Sepulang sekolah tadi Al terus mencarinya. Biasanya siang-siang Fyona sudah berada di dalam kamar. Entahlah semenjak hamil, bawaannya ngantuk melulu. Tapi hari ini dia lebih tertarik membuat kue di halaman belakang. Teriakan Al bahkan tidak terdengar.
Dia bertemu Al ketika ingin ke kamar mengambil ponselnya. Dan anehnya Al menangis.
Saat itu juga Al memeluknya. Menyerangnya dengan ciuman bertubi-tubi tak lupa juga dia berjongkok dan menciumi perut Fyona seakan tidak ada hari esok.
Dan disini mereka sekarang. Duduk sambil berpelukan di sofa ruang tamu. Al menghembuskan napasnya perlahan. Dia terus bercerita setiap kejadian dengan jelas tanpa ada sedikitpun yang terlewatkan.
"Jadi Rara di mana sekarang?"
"Masih di rumah sakit."
"Nanti aku mau ke sana, anterin ya." Fyona melepas pelukan Al. Panas juga di peluk lama-lama.
"Kamu mau kemana?"
"Ke dapur ambilin kamu makan. Kamu belum makan kan?" Al menarik Fyona menyuruhnya kembali duduk.
"Gak usah sayang. Biar aku ambil sendiri."
"Ya udah kalau gitu aku siapin baju ganti kamu dulu."
"Gak usah. Kamu duduk aja disini. Biar aku yang siapin sendiri. Aku gak mau kamu terlalu banyak gerak nanti baby's kenapa-napa." Katanya mengelus perut buncit Fyona.
"Gak enak tau Za duduk diam di rumah terus. Bosen. Kamu gak pernah juga ngajak aku jalan-jalan kayak buk Yosi tu setiap sore jalan-jalan." rajuknya.
Benar memang Al selalu mengurung Fyona di rumah. Tidak boleh melakukan apapun. Semenjak kehamilan Fyona, Al sangat over protektif. Katanya takut kalau Fyona kelelahan yang bisa membahayakan bayinya.
"Maaf ya. Aku cuma takut kalian kenapa-napa." Al membawa Fyona ke dalam pelukannya. "Maafin ayah ya sayang." Lanjutnya mengelus perut Fyona. "Ya udah nanti kita jalan-jalan."
"Beneran?" Al mengangguk.
"Janji ya."
"Ia sayang." Gemasnya mencubit kedua pipi Fyona.
"Yeayyy..." Senyum Al terus mengembang. Rasanya seperti menjanjikan anak kecil liburan ke taman safari.
"Kamu udah makan belum?"
"Udah tapi laper lagi." Al tertawa. Dari dulu Fyona memang suka makan. Tapi setelah hamil, nafsu makannya justru barkali-kali lipat. Fyona sendiri bahkan sempat ketakutan karena nafsu makannya yang tinggi. Tapi dokter Jiha mengatakan hal itu sangat lumrah karena kondisi kehamilan Fyona yang tengah mengandung bayi kembar tiga.
"Ya udah tunggu sebentar ya, aku ambilin. Kamu minum susu gak tadi. Enggak pasti kan?" Tebak Al.
"Aku gak suka rasa coklat."
"Ia maaf ya. Aku lupa beli tadi. Tapi minum ya sedikit. Dari tadi malam kamu gak minum susu. Ya."
"Ya udah. Buatin tapi ya?" Al mengelus lembut pipi Fyona.
Sepeninggalan Al, Fyona meluruskan tubuhnya di sofa panjang. Tidak perlu menunggu lama, hingga akhirnya dia tertidur.
"Lah, udah tidur. Tadi katanya laper."
Dia meletakkan nampan dan gelas susu Fyona. Kemudian menggendong istrinya ke kamar. Meletakkan perlahan di atas tempat tidur.
"Gimana aku mau pindah ke lain hati, orang kamunya cantik gini. Kamu hamil kok makin cantik sih sayang." Tiba-tiba Al teringat omelan Fyona yang cemburu karena Al sempat di temui seorang wanita.
"Sehat-sehat kalian di dalem ya. Ayah sayang kalian." Seakan tau. Bayi-bayi di dalam perut Fyona berlomba bergerak seolah ingin bersentuhan dengan tangan Al.
"Woah. Anak ayah aktif sekali." Hebohnya pelan. Takut Fyona terbangun. Dia bahkan menempelkan kedua tangannya pada perut Fyona. Mengajak bercanda calon bayi-bayinya yang mulai aktif itu.
****
"Bos, dia sudah tau kita sedang mengawasi dia."
"Lantas?" Orang yang di panggil bos itu sedang membersihkan salah satu koleksi laras panjangnya. Sesekali dia mengarahkan ujung pistol itu ke anak buahnya.
"Apa kita tetap lanjutkan rencana bos?"
Bosnya itu hanya menatap salah satu anak buahnya dengan sebelah alis terangkat. "Menurut mu?" Menunjuk anggota baru yang baru bergabung dengannya. Pria itu memiliki tubuh yang jauh lebih besar dari anak buah sebelumnya. Tentu saja dengan nyali yang lebih besar juga.
"Lanjut bos." Dengan mantap dia menjawab. Memiliki latar belakang dengan banyak kasus kriminal, sekedar menghabisi satu nyawa saja baginya bukanlah hal sulit.
"Sudah tau kan? Jadi jangan bertanya lagi?!" katanya melepas satu tembakan dan berhasil melumpuhkan. Burung kecil yang sedang berkicau di ranting pohon.
"Kapan saya harus mulai bos?" Dari sekian banyaknya anggotanya, hanya dia yang berani bertanya kapan mulai. Sedangkan yang lain lebih suka di perintah dari pada mengambil inisiatif sendiri. Tidak sia-sia dia menampungnya.
"Saya suka dengan keberanian mu." Tawanya terdengar begitu mengerihkan. "Lebih cepat lebih baik. Membiarkan dia lama-lama hidup membuat saya muak. Dia sudah membunuh adik ku. Tidak pantas dia hidup." Geramnya. "Tapi jangan sekarang. Tunggu perintah saya. Biarkan saja dia bernapas sebentar. Setelah itu musnahkan dia."
"Baik bos."
****
Seperti malam-malam sebelumnya. Kelvin yang terkenal paling berandal di antara yang lain, kini menghentikan motor besarnya di tengah jalan menghadang mobil jenis sedan yang sedari tadi membuntutinya.
Di balik helm full facenya. Tangannya bergerak memerintahkan orang-orang yang ada di dalam mobil untuk turun.
Bukannya turun. Orang-orang di balik kemudi itu justru melanjutkan mobilnya. Nyaris saja menabrak Kelvin.
Aksi kejar-kejaran tak bisa di hindari. Sampai akhirnya Kelvin kehilangan jejak. Berkali-kali dia mencari mobil itu. Tapi hasilnya nihil. Dia tidak menemukan mobil yang sama.
"Siall."
Medan, 211019
AlinKheil 🐰
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama Papaku Crazy!! [END]
Teen FictionSekolah-Kuliah-Kerja-sukses-Menikah-Hidup Bahagia. Kebanyakan orang memiliki rute masa depan yang cerah seperti itu. Tapi apa jadinya jika Kedua orang tuamu memaksamu menikah dan harus memiliki anak di usia yang bahkan kamu sendiri baru tamat SMP? ...