📖 Chapter 5 📖

785 26 0
                                    

         “Mama nyuruh Fyo pulang cuma mau bilang itu doang? Gak ada gitu pembahasan lainnya yang lebih bermanfaat!”

         Tanpa menunggu jawaban dua orang tua di depannya, wanita itu beranjak dari ruang tamu menuju kamarnya sendiri meninggalkan dua orang tua yang masih menatapnya tidak percaya. Kedua orang tua itu saling tatap, geleng kepala lalu di akhiri dengan tawa yang bersamaan. Mungkin mereka sedang gila.

         “Nanti mama coba lagi deh pa. Gak sabar mama. Kelamaan banget tu bocah geraknya.”

         “Terus mama pikir mama saja yang tidak sabar, papa juga kali.”
Kekehan keduanya terdengar nyaring di telingan. Siapapun yang melihat interaksi dua umat manusia itu pasti merasa iri karena mereka terlihat sangat mesra di usianya yang terbilang cukup tua. Masih saling manja, saling menjahili, bahkan dengan tidak tahu malunya saling mengumbar kemesraan di depan umum. Yang muda seketika mendadak tua karena malu melihat tingkah mereka.

         Di lain tempat, seorang wanita sedang menyumbat telinga dengan earphone, menghidupkan musik dengan volume kuat berharap tidak mendengar apapun yang bersumber dari luar kamarnya. Meskipun sekarang telinganya mulai berdengung sakit.

          Dia memejamkan matanya sembari menikmati alunan lagu yang mulai terputar. Membiarkan semilir angin mengibarkan kain gorden dan menyelinap masuk ke dalam. Membelai lembut setiap inci kulit tubuhnya yang bersih.

         Fyona, wanita yang memiliki ciri tidak jauh dari wanita Indonesia pada umumnya. Kulit putih walau tidak bersih-bersih amat. Muka biasa saja namun cukup bersih karena dia sering perawatan. 

         Hidung cukup mancung, ke dalam maksudnya. Bercanda.

         Dia memiliki lensa mata yang unik. Warnanya hitam, tetapi bisa saja berubah sedikit coklat jika dia sedang gugup. Aneh kan?

         Tidak sipit tidak juga lebar. Biasa saja. Bulu mata datar. Alis tersusun rapih, kata orang seperti semut beriring tapi menurutnya tidak karena semut beriring terlalu tipis sedangkan alis miliknya cukup tebal. Dan bagian yang paling dia sukai adalah bibir. Menurutnya bibirnya sangat sexy. Ini sudah terbukti. Orang-orang bilang dia sangat manis ketika tersenyum tetapi sangat menyeramkan ketika sedang terdiam.

         Notifikasi ponselnya menghentikan sejenak aktifitas musiknya. Tidak berniat untuk melihat, tapi jiwa penasarannya muncul juga. Dia membuka pesan singkat tersebut yang di kirim oleh nomor baru. Mudah-mudahan bukan pinjaman uang.

         “Taman?” Dia menyerngitkan keningnya. Pesan yang berisi satu kata terdiri dari lima huruf dan dikirim oleh nomor tidak di kenal. Baik, salah kirim.

          Dia kembali menikmati lagunya kali ini sudah pindah posisi, duduk di balkon kamar lebih tepatnya di lantai bersandar pada tiang penyangga sambil menatap gumpalan awan putih beranekah bentuk. Tidak jauh dari situ terdapat burung-burung kecil yang menari seolah sedang memamerkan diri, Kebebasan itu indah, maka nikmatilah.

        Musiknya kembali terusik oleh pesan masuk yang bertubi-tubi. Masih berasal dari nomor yang sama. Dan isi pesan yang sama pula. Ini orang gila, atau kurang perhatian sebenarnya?

        Tak lama berselang panggilan masuk juga dari nomor yang sama. Fyona membaca ulang nomor yang tertera barang kali hpnya sedang error dan tidak bisa membaca nomor. Meski malas, dia menjawab panggilan itu.

         Kamu dimana? bisakah ketemu sebentar?

         Tut.. tut.. tut...

         Panggilan terputus. Lebih tepatnya Fyona yang mematikan. Panggilannya begitu tidak penting. Dari orang yang tidak penting juga. Orang itu Zo, panggil saja Zo mau di tambahin satu lagi o nya juga tidak masalah, dan dia adalah cinta pertama Fyona, pria yang membuat hatinya tidak karuan. Pria yang membuat cintanya terus menggunung. Pria yang selalu memperlakukan dirinya layaknya seorang putri dan satu-satunya pria yang membuatnya terus jatuh cinta. Tapi itu dulu, sebelum Fyona mengetahui kebenarannya bahwa dirinya tidak lebih hanya sekedar bahan taruhan.

       Dia menghembuskan napasnya kasar. Membuka layar ponselnya lalu memblokir nomor tadi. Dengan yang sekarang, terhitung sudah 20 kali Fyona memblokir nomor dari orang yang sama. Baginya yang lalu biarkan berlalu. Dia bukan tipe wanita pendendam sebenarnya, hanya saja dirinya terlanjur kecewa. Menjalin hubungan setahun lamanya bahkan dia sendiri tidak percaya jika yang pria itu lakukan hanyalah memasang taruhan dengan teman-temannya, dan kenapa targetnya itu harus dirinya?

          Fyona kembali menyandarkan tubuhnya. Kembali menatap awan dan kembali teringat dengan kejadian-kejadian yang menimpah dirinya. Seperti potongan kaset yang terus terulang. Bahkan rasa frustasi yang dulu saja belum sepenuhnya hilang sekarang justru akan bertambah lagi.

         “Hah, kenapa sih hidup gue gak kayak filem remaja Indonesia gitu yang hidupnya mulus. Harus banget ya seperti ini?” Gumamnya sambil mengetuk ketuk tiang besi. Persis seperti orang tidak terpakai.
       
          Fyonaa anak mama yang paling cantik .....,’

          Wanita itu mendengus kesal. Jika dulu dia sangat menyukai panggilan seperti itu, sekarang berbeda. Dia sangat membenci kata-kata pujian itu. Tahu apa artinya? ya seperti pepatah, ada udang di balik batu. Sudah pasti punya maksud lain.

         “Tuhan, gak bisa gitu waktu di puter ulang. Masukin gue ke rahim mama lagi. Gue mau buat list ulang selama gue hidup Tuhan?” Sembari kedua tangan terkepal di depan dada, mata serta kepalanya menghadap ke atas.
        Fyonaa,, yuhuuu ... where are you doing?’

         Suara itu lagi. Tunggu-tunggu?? where are you doing? Harusnya what are you doing kan? ahh terserah emak-emaklah. Mereka yang paling benar. Kita yang selalu salah. Fyona menggelengkan kepala acuh, takjub, heran aneh juga. Tidak heran dia mempunyai abang yang super gila dulu karena ibunya juga aneh. Seandainya abangnya masih hidup. Pasti seru.

        “Ngapain kamu disitu?” Menyilangkan kedua tangannya sambil memegang penggorengan. Rambut di ikat asal menggunakan bandana merah muda. Celemek kuning pudar melekat pada tubuhnya. Ohh, jangan lupa tepung yang menempel. Dia ibu Fyona bukan sih? Fyona lupa soalnya.

         Fyona melihat sekeliling. Bahkan dia juga melihat ke bawah lantai dasar, baru kembali menatap ibunya. “Anda bicara dengan saya?” Seperti baru bertemu orang asing yang mengajaknya kenalan. Bingung karena tidak kenal. Dasar anak durhaka!

        “Tidak, kebetulan saya punya indra kesebelas. Saya sedang berbicara pada pesepak bola yang sedang berguling-guling di padang pasir.” Bahkan jawabannya juga semakin tidak nyambung. Sudah di bilang, ibunya Fyona itu aneh. Beruntung Fyona tidak ikutan gila.

         “Wah benarkah? saya bahkan punya indra ke tiga belas. Saya bisa melihat pesepak bola anda beserta cadangannya sedang berlomba saling mengejar capung.” Baik, ternyata ibu dan anak sama gilanya. Tolong kalian yang membaca jangan ikutan gila. Cukup yang nulis saja yang gila.

         "Kamu gak nyambung. Sudah, jangan gila kamu yang di besar-besarin. Sekarang kamu bersiap. Nanti malam kita dinner.” Resti buru-buru memutar tubuhnya ketika Fyona hendak melayangkan protes. “Ssttt... Jangan ngebantah, ntar durhaka. Mau kaki kamu jadi di atas?” katanya lalu pergi dari sana.

          “Dulu gue janji apa sih sama Tuhan pas di dalem perut emak gue. Gini amat jadi gue.”























AlinKheil 🐰
Medan, 21511

Penulis yg galau akibat nunggu lebaran.

Mama Papaku Crazy!! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang