Di mata Daniel, Lyra mungkin tipikal adik yang rese, berisik, manja, dan lain sebagainya.
Dari kecil, mereka juga sering ribut. Bukan jenis ribut yang brutal sampai main jambak-jambakan atau permainan simulasi pembunuhan lainnya. Tapi lebih karena Daniel itu sangat usil dan tengil, dan ia menggunakan kelebihannya itu untuk mengusili satu-satunya sasaran empuk yang ada di rumah. Lyra, adiknya satu-satunya.
Mulai dari bilang kalau Lyra itu anak nemu di pasar ikan, mengatai adiknya cengeng dan anak pungut, rese, berisik, dan menyebalkan. Padahal kalau dipikir-pikir, Daniel sebenarnya terlihat seperti sedang menjabarkan sifatnya sendiri.
Anehnya, meskipun tumbuh dengan semua keributan abangnya itu, ajaib sekali Lyra sama sekali tidak pernah menyimpan dendam pada abangnya. Kesal iya, tapi tidak sampai membuat suasana hatinya buruk sepanjang hari. Paling Lyra hanya manyun menanggapi, atau kadang balas mengolok. Kalau sedang kesal sekali, paling dia hanya terpikir menjual abangnya di situs Amazon atau Alibaba.
Pokoknya ribut dibalas ribut. Tapi tidak sampai membuat hari jadi kacau.
Masih ada secuil rasa sayang pada abangnya meski ada embel-embel amit-amit jabang bayi.
Hari ini, adalah jenis hari yang Lyra tidak ingat pernah terjadi. Di antara sejuta keusilan abangnya yang menemani cewek itu tumbuh sampai umur 19 tahun seperti sekarang, belum pernah Lyra merasa semuram ini.
Setelah perjalanan darat yang panjang dan melelahkan untuk diklat Semeru, mereka akhirnya tiba di sebuah daerah bernama Tumpang. Turun dari bis, mereka disambut oleh 5 mobil Jeep berukuran besar yang akan membawa mereka ke Ranu Pane - titik awal pendakian ke Semeru via Malang.
Peserta diklat dan panitia lain sudah membawa tas carrier mereka masing-masing dan ditaruh di Jeep khusus barang. Mereka lantas menaiki Jeep sesuai urutan nomor peserta. Dan Lyra ada di Jeep kedua dengan panitia pendamping berwajah sangar, Arjuna Mahameru.
Namanya saja sudah sangar.
"Muka lo kenapa pucet?" tanya Arjuna pada Lyra yang duduk di pojok Jeep.
"Eh- efek belum cuci muka, kak," jawab Lyra ragu. Karena ia tidak merasa tidak enak badan. Mungkin juga karena kelelahan duduk di bis. Perjalanan jauh naik bis sama sekali tidak pernah masuk dalam daftar aktivitas hidupnya. Ini adalah kali pertama dan itu membuatnya sulit tidur.
Arjuna mengangguk. "Nanti begitu nyampe di Ranu Pane, lo langsung cuci muka. Masa belum apa-apa udah pucet aja."
Lyra mengangguk patuh.
Sayangnya, 'nanti' yang dimaksud Arjuna adalah sekitar 3 jam-an lagi yang membuat punggung dan kaki Lyra kaku sekali.
Begitu mereka sampai di tempat bernama Ranu Pane, Lyra langsung turun dari Jeep dan mendapati kakinya agak gemetar. Cewek itu lantas berjalan ke Jeep paling belakang untuk mengambil carriernya yang besar dan berat -mengabaikan tatapan heran peserta lain karena cewek itu tampak kesulitan.
"Sambil nunggu Arjuna ngurus simaksi, gue minta semua peserta untuk kumpul dulu disini," seru Faro yang sudah berdiri di depan, bersama sederet panitia diklat lainnya.
Semua membentuk barisan dengan rapi tanpa membuat Faro membuang banyak tenaga untuk mengatur mereka.
Lyra berdiri di paling belakang barisannya, enggan menatap Faro yang di sebelahnya ada Fara.
"Sekarang masih tengah hari. Kita bakal istirahat dulu di salah satu rumah warga. Nanti malem gue mau semua kumpul lagi disini untuk pembukaan diklat. Besok pagi kita bakal mulai pendakian dan sebelum itu, ada beberapa tugas yang harus kalian laksanakan sebelum mulai mendaki."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Mapala - 🌐SH
FanfictionKeanehan yang terjadi sejak Faro menolak Lyra di lapangan Fakultas Geografi.