Lyra punya alasan kenapa ia menyukai liburannya kali ini. Pertama, ini kali pertama ia berlibur dengan teman-temannya meski Daniel ikut. Kedua, ia ada di Bandung dan Lyra punya firasat kalau Kota Kembang itu akan memberinya sebuah kenangan tersendiri. Ketiga, Lyra suka kabutnya.
Tidak ada kabut dan udara tidak pernah sedingin ini di Jakarta maupun Singapura.
Bahkan ketika mereka memutuskan sarapan siang di villa yang besar, kabut itu masih nampak di luar jendela. Menyapu pandangan dengan lembut.
Selepas sarapan siang yang isinya obrolan ringan ngalor-ngidul tentang apa saja, mereka memutuskan untuk berangkat menuju Kawah Putih.
Lyra tidak tau banyak soal tempat wisata itu, tapi foto-fotonya di internet bagus sekali. Jadi dia antusias sekali. Cewek itu bahkan memilih semobil dengan Marta dan teman-temannya dan mereka menyanyikan apapun lagu yang sedang now playing di radio lokal. Pokoknya bukan lagu Naik-naik ke Puncak Gunung.
Sementara Daniel sendiri di mobilnya, mengikuti dari belakang dengan kecepatan sedang dan mengenakan pakaian baru yang kemarin dibelinya di distro menuju villa.
"Kau datang dan pergi
Oh begitu saja..."Karaoke di mobil tengah yang ditumpangi Lyra masih berlanjut. Lyra terkekeh menyadari rata-rata dari mereka berwajah sangar, tapi suka sekali lagu-lagu era 2000-an.
"Ra." Alya di bangku belakang mencolek bahunya, membuat Lyra menoleh. "Abang lo jomblo ngga?"
Lyra melirik mobil abangnya di belakang. Kaca depan yang bening memperlihatkan bagaimana cowok tengil dan laknat itu memegang kemudi dengan tangan kanan dan tangan kiri bersangga di atas console box. Kacamata hitam bertengger di hidungnya.
Keren sih, tapi kayak tuyul.
Lyra kemudian menoleh pada Alya, menggeleng, "Abang aku jomblo. Tapi aku ngga recommended."
"Kenapa tuh?"
"Kelakuannya kayak tuyul. Suka nodong aku buat top up punya Bang Niel. Terus waktu kemarin beli baju di distro, aku juga yang disuruh bayar."
Alya nyengir. "Tapi kalo orang tua lo tajir kan gampang sih, tinggal minta kiriman."
"Orang tua aku ngga tajir. Papa itu pedagang ikan, waktu kecil aku sering ikut Papa dagang di pasar. Terus uang bulanan yang dikirim ke kita harus digunakan baik-baik. Tapi gitulah abang, boros. Ngerasa banyak duit padahal ngga."
Alya melongo, begitu pula beberapa anak yang diam-diam ikut mendengarkan. "Gue pikir lo semacam crazy rich Asia pas tau lo dari Singapura."
"Bukan."
"Tapi baju lo bagus-bagus gila, kayak keluaran butik."
Merasa risih karena penampilannya yang menurut dia biasa saja tapi malah dikomentari, Lyra melanjutkan, "Baju-baju di Singapura ya begini-ini. Baju-baju di pasarnya juga kayak gini kok."
"Terus ya, Ra," Alya mendekatkan posisinya dengan Lyra, dengan senyum berkata dengan nada penasaran, "Beberapa mahasiswa kan ngga beruntung bisa beli iPhone boba kayak lo. Marta contohnya. Lo punya sugar-"
Plak!
Marta menggeplak jidat Alya dengan majalah yang ada di mobil, memberi temannya itu tatapan peringatan. "Udah gue pesenin sebelumnya buat ngga bahas."
"Ya maap, kan bercanda." Alya cengengesan.
"Sugar apa, Al?" Lyra bertanya tertarik.
"Ngga kok, Ra. Gue lupa tadi mau ngomong apa." Alya nyengir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Mapala - 🌐SH
FanfictionKeanehan yang terjadi sejak Faro menolak Lyra di lapangan Fakultas Geografi.