"Rumah Pondok Indah bersih." Leandra mengangguk singkat, meninggalkan pekarangan rumah 3 lantai bergaya klasik itu diikuti Lyra, Mama, dan Papa serta pegawai di Jakarta yang Lyra panggil Pak Hadi.
Setengah jam lalu saat mereka tiba di rumah gedong itu, Leandra segera memulai tujuannya untuk memeriksa apakah ada sesuatu yang aneh yang bisa ia rasakan kehadirannya di setiap ruangan.
Tapi selain merasakan adanya penghuni lain yang biasa ada di rumah-rumah, Leandra tidak merasakan adanya energi jahat di rumah ini. Memang sih banyak penghuni tak kasat matanya karena rumah yang terlalu besar dan manusia yang terlalu sedikit, tapi setidaknya tidak ada masalah.
Selama keisengan mereka tidak membuat teror para asisten rumah tangga, rumah ini aman.
Lyra, meski tidak secanggih Leandra, sedikit-sedikit bisa merasakan adanya kehadiran penghuni lain di rumah yang belum pernah ditempatinya itu berhubung ia saja muncul di Singapore.
Para penghuni itu tidak jahat, tapi usil sekali.
Gangguan yang paling usil ketika mereka tiba di perpustakaan lantai 3. Rak-rak buku setinggi 3,5 meter yang ujungnya menyentuh langit-langit ruangan, dengan ratusan bahkan ribuan buku yang dari aromanya saja kentara adalah buku tua, menambah kesan misterius pada ruangan itu. Apalagi kalau melihat jendela besar di satu sisi dinding yang menghadap halaman belakang dengan kolam renang luas, agak sunyi dan senyap.
Pada saat itulah, sesuatu terasa menjawil bahu Lyra. Terasa seperti manusia yang melakukannya dengan jari telunjuk, tapi jelas bukan manusia karena Lyra kan ada di paling belakang rombongan kecil itu.
Seolah tidak cukup menjawil sekali, setiap beberapa langkah di ruangan itu, bahu Lyra kembali dijawil sampai bibir cewek itu mengerucut kesal.
Leandra tertawa memecah keheningan. "Dia seneng liat kamu, Ra. Soalnya ngga pernah punya temen selama disini," jelasnya.
Sekilas, benar-benar sekilas, Lyra merasa ia mendengar suara tawa halus seorang perempuan. Yang jelas bukan Mama ataupun Tante Leandra.
"Dari dulu dia kesepian. Daniel ngga pernah bisa diajak main soalnya abang kamu itu cuek banget. Padahal dia udah capek ngasih signal."
Lyra tidak heran kalau itu Daniel. Abangnya memang cuek. "Tapi aku cuma sebentar disini," sahut Lyra pada udara kosong di sekitarnya.
Brak!!
Pintu ruang kerja disana dibanting. Sepertinya ada yang kesal dengan jawaban Lyra. Sampai Mama harus memegang dadanya karena kaget. Tidak peduli berapa kali Mama melihat kemampuan si bungsu, ia tetap saja terkaget-kaget.
Mereka kemudian berkeliling sampai selesai dan kembali lagi ke mobil.
"Selama ini anak-anak tinggal dimana kalo ngga disini?" Tante Leandra kembali bertanya seiring mobil yang kembali melaju.
"Anak-anak sekarang tinggal di Jagakarsa. Rumahnya kecil sih, tapi itu request Daniel pas kuliah minta dibikinin rumah disana."
"Padahal dari rumah Pondok Indah ke kampus juga deket."
Mama mengusap rambut panjang Lyra. "Adek tebak coba kenapa abang minta bikin rumah lagi di Jagakarsa?"
Lyra memutar bola mata ke atas, ke arah langit-langit mobil untuk mendapat klu, lantas menggeleng blank. "Kenapa, Ma?"
"Biar bisa tetanggaan sama Aulia."
"Hah?! Gimana?! Mama udah kenal Mbak Au?!"
"Kenal dong. Ia tuh mahasiswa favorit Mama waktu magang di galeri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Mapala - 🌐SH
FanfictionKeanehan yang terjadi sejak Faro menolak Lyra di lapangan Fakultas Geografi.