42 - Leandra

700 179 51
                                    

Lyra mengakhiri ceritanya sambil menatap takut ke arah Mama yang duduk di sofa.

"Terus kantong putih yang adek bawa itu apa?"

Perhatian Lyra kembali pada Papa yang duduk dengan pose bersila dan mata terpejam di atas matrasnya. "Ini... boneka terornya, Pa."

Joseph membuka mata, menatap tepat di manik lugu si bungsu dengan mata memicing. "Adek bawa boneka santet itu kemana-mana?!!"

"But nothing's happen to me," Lyra mencicit membela diri karena Papa sudah menatapnya dengan nge-gas. "Lagian belum tentu itu santet kan."

"Itu santet, sayang." Mama membalas lembut, namun tegas. Terselip kekhawatiran dalam suaranya. Tentu saja, siapa yang tidak khawatir kalau anaknya mendapat kiriman sihir hitam begini? "Terlepas dari teror yang nimpa adek, kita harus cari tau siapa yang sebenarnya dituju si pengirim ini."

"Maksud Mama?"

"Memang adek yang mau dikirim sihir ini, atau justru Faro."

Sekali lagi Lyra diingatkan kenyataan bahwa ia ada di Singapura untuk mencari tau keterkaitannya yang melibatkan Faro. Sementara di Indonesia, status mas crush kesayangannya itu masih dalam pencarian tim yang dikerahkan Daniel.

Kemudian Lyra teringat kembali Lian Ma yang sudah jelas tidak bisa menolongnya lagi. "Keluarga Lian Ma ngga mau nerima adek, Ma."

Mama mengangguk, berdiri dan meraih lengan anak bungsunya itu. "Ada orang yang bisa bantu kita di Indonesia. Kita bakal kesana. But first thing first-" Mama menatap prihatin Lyra yang agak kucel karena baju yang ia pakai sejak kemarin, kemudian menatap Papa yang masih memakai pakaian yoga ketatnya. "-lebih baik kalian mandi dan ganti kostum deh."

Papa hanya terkekeh, beranjak dari matrasnya untuk segera mandi setelah mengusak kepala Lyra, "Kita hadapain bareng-bareng ya, dek. Jangan takut buat cerita. Karena yang namanya sihir hitam bakal semakin kuat kalo adek ngerasa sendirian."

Lyra mengangguk. Sepeninggal Papa dari ruang meditasi, cewek itu merasakan tepukan lembut Mama di bahunya. Melangkah beriringan menuju bangunan utama rumah dan menggunakan lift untuk menuju kamar Lyra dari lantai 3 ke lantai 2. Biar cepat.

"Adek udah gede ya, udah bisa ngerasa sesayang ini sama mas crush."

"Eh-" Wajah Lyra langsung memerah malu, nyengir salah tingkah. "Kak Faro kan mas crush for life, Ma."

"Beneran?"

"Iya." Lyra mengangguk yakin. "Adek ngga mau dan ngga bisa crush ke yang lain sejak ada Kak Faro."

Ekspresi Mama berangsur lebih lembut saat mendengar pengakuan sederhana itu. Ada banyak cowok seusia Lyra atau sedikit di atasnya di lingkungan mereka, mayoritas good looking dan Lyra terbiasa setidaknya ganti crush 3 kali dalam satu semester.

Dan baru kali ini Lyra tidak ganti crush. Bahkan Mama bisa merasakan perasaan si bungsu hanya dari melihat wajah Lyra.

Kadang perasaan sayang memang sesederhana itu. Terutama untuk Lyra yang belum pernah memiliki cinta pertama.

Mereka kemudian tiba di depan pintu kayu kokoh dengan gantungan macrame bergaya Bohemian di depannya. "Adek mandi dulu gih, lemarinya udah Mama isi sama beberapa baju."

"Oke, Ma."

Setengah jam kemudian, Lyra menyadari bahwa 'beberapa baju' yang dimaksud Mama adalah mengisi penuh walk in closet itu dengan sederetan pakaian dari butik berikut alas kaki dan aksesori lainnya.

Anak Mapala - 🌐SHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang