Di saat banyak orang tidak percaya dengan keberadaan makhluk halus, Faro percaya. Dan ia memiliki alasan untuk percaya.
Pertama, karena ia mendengar banyak cerita horor pendakian, dan kadang mengalaminya sendiri. Kedua, mengingat bidang studi Geografi yang diambilnya, otomatis Faro juga mempelajari sedikit ilmu Antropologi masyarakat yang pada umumnya memiliki kepercayaan pada hal mistis tertentu. Ia menghormati kepercayaan yang beragam itu. Dan ketiga, karena Faro melihatnya langsung dari apa yang dialami Lyra.
Untuk orang yang skeptis terhadap keberadaan mereka, mempercayai apa yang dialami Lyra tentu saja hal yang lucu dan bodoh.
Tapi Faro sendiri sudah percaya sejak awal. Hanya saja, Faro memutuskan untuk tidak perlu sering-sering membahasnya dengan Lyra agar cewek itu tidak gusar.
"Niel, besok gue berangkat ke Kalimantan," ujar Faro saat ia dan Daniel masih duduk di sekre setelah rapat Mapala untuk agenda liburan selesai.
Mendapat ungkapan pamit itu, Daniel menatap sahabatnya heran. "Ya terus gue harus bilang wow gitu?"
Faro berdecak. "Gue ngga urus kalo lo."
"Terus siapa yang mau lo urus? Adek gue?"
"Iya. Gue-kepikiran kalo gue ninggalin dia ke Kalimantan... yang bakal jagain dia siapa."
"Maksud lo gue ngga becus jadi abang?! Lo pikir gue bakal jual ginjal adek gue sendiri hah?!!" Daniel langsung nge-gas.
Faro berdecak lagi, bicara soal Lyra pada Daniel benar-benar menguji kesabarannya. Sayangnya, tidak ada orang lain yang bisa ia ajak bicara soal Lyra selain Daniel. "Sensi amat kayak banci perempatan."
"Ih najong!"
"Apa gue batalin aja proyek ke Kalimantan?"
Daniel mengernyit heran. Akhir-akhir sahabatnya itu terlihat tidak jelas maunya apa. "Protektif amat sama itu anak tengil. Gue yang abangnya aja ngga separno itu. Dia ngga selemah yang lo pikiran kali."
"Ya tetep aja." Faro bergumam ragu. "Gue kepikiran kejadian belakangan ini. Gimana kalo pas ada kejadian lagi, tapi ngga ada gue atau lo di sampingnya?"
"She can handle by herself. Dia emang nyebelin, banyak mau, tapi bisa mengendalikan dirinya sendiri."
"Masuk rumah kosong dan ketiduran disana sampai demam lo bilang 'bisa mengendalikan diri'?"
"Itu kan accident."
Faro mencibir pembelaan diri Daniel, mulai meragukan kemampuan Daniel sebagai pengacara kelak. Tangannya memainkan kunci mobil dengan penuh pertimbangan. Proyek ke Kalimantan bersama profesornya sangat penting. Ia bisa menambah resume dan memiliki penghasilan tambahan sebagai royaltinya membantu penelitian. Tapi berada jauh dari Lyra selama beberapa hari setelah kejadian yang menimpa cewek itu membuat Faro mulai mempertimbangkan keberangkatannya besok.
Oke, Faro memang mulai terdengar paranoid dan berlebihan. Tapi bagaimana pun caranya ia memikirkan semua alasan logis, meninggalkan Lyra tetap saja terasa berat.
"Kalopun ada yang harus jaga Lyra selain gue, gue bakal minta perusahaan sekuritas ngirim pengawal buat adek gue. Lebih profesional dan ngga mengganggu profesionalitas yang lain," jelas Daniel, menatap sahabatnya dengan raut serius yang langka. "Gue tau proyek ini penting buat lo. Jangan sampe adek gue jadi penghalang buat semua rencana yang udah lo susun dari awal. Aneh tau ngga, orang ambisius dan terencana kayak lo tiba-tiba jadi labil gara-gara cewek tengil kayak adek gue."
"..."
"Udah cukup kejadian aneh kemarin-kemarin. Lo juga jangan ikutan aneh, gue yang stres. Apalagi sampai batalin proyek. Gue ngga mau ya digorok cewek lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Mapala - 🌐SH
أدب الهواةKeanehan yang terjadi sejak Faro menolak Lyra di lapangan Fakultas Geografi.