11 - Rules Number 1

807 182 35
                                    

Sepanjang hidupnya, Lyra tidak pernah satu kali pun tertarik dengan yang namanya organisasi. Cewek itu punya dunia sendiri di sudut kamarnya yang nyaman dan mewah.

Sementara Daniel Malik sebaliknya. Cowok itu gemar ikut organisasi. Mulai dari yang populer seperti beladiri sampai yang tidak terlalu populer seperti merajut. Bayangkan, buat apa abangnya ikut ekskul merajut segala yang isinya rata-rata perempuan?!

Maka tidak heran, teman-teman Daniel ada dimana-mana, pergaulannya luas sekali. Sedangkan Lyra tipikal anak rumahan yang agak kuper.

Jadi ketika cewek itu memutuskan gabung Mapala, ini adalah pengalaman pertamanya berorganisasi dan ia sama sekali tidak tau bahwa diklat akan semenyedihkan ini.

Tangan Lyra sudah gemetar karena harus push up 20 kali, belum lagi jalan jongkok keliling lapangan yang membuatnya sempat menangis diam-diam demi 'melatih' kesiapan fisik mereka sebelum mendaki besok. Mereka juga harus berlatih bongkar-pasang tenda, sementara Lyra lebih banyak menyusahkan karena sama sekali tidak membantu. Meski sambil menyembunyikan air matanya, Lyra bertekad setidaknya ia tidak ingin jadi beban kelompok.

Dan seolah semua siksaan fisik itu belum cukup, Lyra dihadapkan pada kenyataan bahwa ia tengah memangku nampan berisi pasir hitam dan banyak sekali cacing tanah yang masih hidup. Bergeliat-geliat menjijikkan.

"Lo harus makan pasirnya," perintah entah siapa yang menjadi panitia diklat itu.

Lyra merasa perutnya bergolak. Ia mendapati teman-temannya memakan pasir hitam itu sembari mengernyit aneh. Tapi mereka berhasil. Mereka memakannya di bawah tatapan dingin panitia diklat.

"Ada masalah?"

"Euh?" Lyra mendongak, menggeleng takut-takut. "Ng-ngga, kak."

"Kalo gitu makan." Kakak panitia itu menyedekapkan tangan, mengawasi Lyra dengan tatapan tajam sampai cewek yang rambutnya sudah berantakan itu mengambil segenggam pasir dengan gemetar, perlahan sekali membawanya ke depan mulut, dan menyuapnya.

Lyra hampir saja muntah, tapi ia membekap mulutnya sampai kakak panitia itu meninggalkannya untuk mengawasi yang lain.

Seolah pasir dan cacing tanah belum cukup, para peserta diharuskan duduk berkelompok untuk persiapan makan malam. Di tengah mereka ada nampan kosong, yang lantas dituang nasi, sayur, lauk, kuah, bertumpuk-tumpuk. Di akhir, kakak panitia menumpahkan air minum di atas tumpukan makan malam mereka kemudian memberi perintah, "Aduk pake tangan kalian. Semuanya!"

"Kak-"

"Ngga ada yang membantah! Di alam liar nanti bisa jadi kalian makan yang lebih campur aduk lagi daripada ini. Jadi kalian harus terbiasa!"

Lyra ingin sekali menangis -oh, dia sudah menangis tadi, saat melihat makanan di nampan itu sudah tercampur aduk. Benyek, berair, dan tidak berbentuk. Terlihat seperti muntahan.

"Sekarang makan! Ngga ada yang ngga makan!"

Alin tampak jijik, Ican dan Mamat hanya cengar-cengir dengan wajah aneh, yang lain mengernyit. Tapi mereka tetap menyuap makan malam aneh itu tanpa mengeluarkan air mata seperti Lyra.

"Ngga apa-apa, Ra. Diklat emang kayak gini kok. Sekali ini doang," hibur Ican prihatin menyadari Lyra agak terisak.

"Ini kayak muntahan, Can." Lyra mengusap air matanya dengan perasaan malu, menyadari betapa cengengnya ia di antara peserta diklat yang terlihat sudah tahan banting.

Mamat meringis. "Emang sih, tapi rasanya ngga terlalu parah kok. Kayak... nasi sayur ketumpahan air, jadi kuahnya ngga berasa. Gitu aja."

"Iya, lo masih bisa ngerasain tempe gorengnya kok biar pun udah ngga berbentuk." Yang lain ikut menghibur.

Anak Mapala - 🌐SHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang