"IA!!"
"Niel, jangan teriak-teriak dong. Ini kita lagi beresin rumah, mending lo bantuin kita daripada teriak-teriak di telpon." Pia akhirnya angkat bicara setelah selesai menyapu rumah kontrakan berukuran lumayan besar itu, menatap Daniel yang dari tadi pagi sibuk menelepon sana-sini dengan gusar, bahkan sempat-sempatnya pakai ojek setempat untuk mencari sinyal.
Kalau bukan karena sekarang sudah malam, Daniel mungkin masih akan nongkrong di menara sinyal yang jauh dari desa mereka dan melupakan tugas KKN.
"Niel, gue tau lo lagi kalut mikirin Faro. Lo juga udah ngelakuin yang lo bisa dengan ngirim orang buat nyari. Tapi lo sendiri ada disini buat KKN, gue minta lo juga fokus sama yang disini bisa kan?" pinta Pia prihatin. Bukannya dia tidak memikirkan Faro, hanya saja ketika sahabat kita hilang, bukan berarti segalanya berhenti begitu saja.
Dunia tidak bekerja dengan cara seperti itu.
Wajar merasa khawatir, apalagi Daniel juga sudah mengirim sekelompok orang untuk mencari Faro. Hanya saja, Daniel juga punya tanggung jawab kelompok terhadap jalannya KKN mereka.
Andai Daniel berpikir jernih, cowok itu pasti paham maksud pembicaraan Pia.
Tapi sayangnya cowok itu tidak dalam kondisi jernih ketika ia menangkap ucapan Pia sebagai ucapan tanpa simpati.
"Lo pikir yang gue takutin sekarang adalah hilangnya sahabat gue aja?!" Daniel mendesis marah, mendekat ke arah Pia dengan langkah mengancam sampai Pia harus mundur.
"Niel-"
"Niel - bro, udah tahan." Arjuna yang baru balik dari rumah Pak Kades dan dapat laporan kalau Daniel bersitegang dengan Pia langsung berlari ke dalam, berdiri di antara Daniel dan Pia.
"Minggir, Jun."
"Niel, tahan dulu, lo lagi emosi."
"Lo pikir gimana gue ngga emosi sama semua ini? Gue ada disini buat KKN, di desa terpelosok dan ngga bisa kemana-mana, padahal - Arghhh!!!" Daniel mengacak rambutnya frustasi. "Lo ngga ngerti, Jun!"
"Gue ngerti, Niel." Arjuna mengisyaratkan Pia agar segera berlalu dari hadapan Daniel, kemudian menatap teman geludnya dengan prihatin. "Gue ngerti. Lo ada disini dan ngga bisa kemana-mana, padahal di luar sana sahabat lo hilang dan kemungkinan besar celaka. Lo juga kalut karena adek lo tiba-tiba pergi dan ngga bisa dihubungi. Lo juga khawatir sama seseorang bernama Aulia ini. Lo punya banyak kekhawatiran hari ini dan lo ngga bisa kemana-mana. Gue ngerti, Niel."
Mendengar bagaimana Arjuna menjabarkan semua kekhawatiran yang menyergapnya dalam sehari membuat Daniel mendudukkan diri di atas tikar dan mengacak rambutnya lagi.
Arjuna ikut duduk di sebelah Daniel, menepuk bahu temannya karena ia juga memiliki kekhawatiran itu. "Gue ngerti, karena Faro sepupu gue. Tapi masalah lo yang datang seabrek tiba-tiba begini ngga bisa langsung lo tangani semua. Harus satu-satu dan pikiran lo juga harus dingin," ujarnya, kemudian menambahkan dengan maksud membuat perasaan Daniel menjadi lebih baik, "Ayolah, calon pengacara kayak lo masa nanganin masalah pake kepala panas sih..."
Daniel melirik Arjuna tanpa minat. "Hiburan lo ngga asik!"
Arjuna terkekeh. "Iyalah, gue bukan laki-laki penghibur."
Daniel tersenyum tipis, menyandarkan kepalanya ke dinding kemudian menghela napas. Arjuna benar.
Daniel menatap hampa ponsel di genggamannya. Setelah Lyra tidak bisa dihubungi, teleponnya dengan Aulia terputus tiba-tiba, sekarang Edgar Abraham kembali meneleponnya.
"Kayaknya udah waktunya lo angkat telepon Om Edgar."
💤💤💤
Marta tidak tau darimana kabar ini bermula. Ia hanya dapat dari salah satu temannya yang juga dapat kabar di grup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Mapala - 🌐SH
FanfictionKeanehan yang terjadi sejak Faro menolak Lyra di lapangan Fakultas Geografi.