Tiga puluh tujuh

258 31 1
                                    

Tak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak.

Aroma cokelat hangat memasuki indera penciuman Aluna. Malam ini, tidak lagi teh hangat yang menemani dirinya memandang langit untuk melihat bintang. Meskipun hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan Aluna mencari ide untuk koleksi selanjutnya, namun sesekali ia lakukan kala pikirannya kalut.

Bila dulu, setiap ada masalah yang tidak mampu Aluna selesaikan, ia akan mencari jalan pintas dengan menyakiti dirinya sendiri. Namun kini, Aluna memahami seberapa pentingnya untuk menjadi sehat. Ia yang kadangkala memforsir diri untuk menyelesaikan baju untuk koleksi ready to wear miliknya agar tetap bisa menyelesaikan pesanan client merasa kesulitan karena kondisi tubuh yang kurang fit. Rasanya bila kesehatan itu bisa dibeli, Aluna ingin membelinya saat itu juga agar pekerjaannya cepat selesai dan tidak menjadi beban pikiran.

Bukan karena pekerjaannya yang salah. Tetapi karena Aluna yang setiap permasalahan selalu dipikirkan dulu beratnya dibandingkan menjalaninya. Padahal dirinya seringkali lebih mampu dan lebih hebat daripada dugaannya.

"Nona ada masalah? Apa mau saya dengarkan supaya lebih lega?"

Jarak antara Bi Nah dengan Aluna memang terasa lebih dekat. Hubungan yang tidak lagi seperti pelayan dengan majikan melainkan seperti seorang ibu dan anak kadangkala membuat Aluna juga ingin mengubah panggilannya kepada Bibi begitupun sebaliknya agar tidak ada lagi batas diantara mereka dan benar-benar seperti ibu dan anak. Namun Bi Nah sepertinya masih enggan. Katanya, ia tidak ingin bersikap seolah-olah menjadi pengganti Wanda sekalipun tidak bermaksud demikian. Kematian Wanda juga sebenarnya membuat dirinya merasa bersalah apalagi selepas mengetahui seberapa putus asanya mamanya Aluna itu karena hubungan Bi Nah lebih dekat dengan Aluna.

"Saya baik-baik saja, Bi." Namun sepertinya masalah yang satu ini, tidak mampu membuat Aluna membicarakannya dengan Bi Nah sedekat apapun hubungan mereka. "Cuma kepikiran sama tawaran Papa," ujar Aluna yang sepenuhnya berbohong karena kini ia tidak memikirkan hal itu sama sekali. Tawaran itu sudah sepenuhnya akan ia tolak. Oleh karena itu, tidak seharusnya itu dipikirkannya lagi.

"Tidak masalah bila Nona menolaknya. Saya yakin Tuan Rudi akan memahaminya," kata Bi Nah, memberikan saran untuk Aluna agar ia lebih tenang.

Aluna memberikan anggukan kepala singkat. Ia membiarkan Bi Nah undur diri, meninggalkan kamar Aluna entah menuju kemana. Menyisakan kekosongan mengisi suasana di kamarnya.

Kamarnya sepi tetapi tidak begitu pada isi kepalanya. Terasa penuh dan terlalu bising untuk didengarkan.

Pertemuannya dengan Alan seperti tersemat di kepala Aluna hingga tidak beranjak sedikitpun dari pikirannya bahkan saat dirinya hendak istirahat. Cokelat hangat yang Bi Nah siapkan tidak lagi menarik perhatian Aluna untuk segera diminumnya selagi hangat. Hanya kehangatan yang merambat pada gelas yang Aluna sentuh dengan tangannya hingga rasa hangat itu pun menyentuh permukaan kulit Aluna.

I'M ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang