Dua puluh empat

1.3K 71 0
                                    

Tut,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tut,

Tut,

Tuut,

Krrkk.

"Halo?"

Fatih menyimpulkan senyum pada bibirnya. Ia yang kembali disibukkan oleh jadwal penerbangan setelah cuti kini harus kembali beradaptasi. Memang rasanya rindu untuk kembali terbang menyapa langit bersama burung besinya namun —entah mengapa, semenjak menjalani cuti bersama Aluna lalu kembali lagi dengan harus meninggalkan Aluna membuat Fatih sedikit khawatir.

Cuti yang seharusnya hanya berlaku tiga hari diperpanjang karena kematian Wanda— ibu mertua Fatih, juga Aluna yang sakit dan tidak bisa ditinggalkan sendirian. Fatih cemas bila dirinya meninggalkan Aluna untuk kembali bekerja, gadis itu akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan yang mengancam keselamatannya.

Setelah Fatih melakukan flight dari Jakarta-Indonesia ke Manila-Filipina melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta (CGK) di Cengkareng – Jakarta menuju ke Bandara Internasional Ninoy Aquino (MNL) di Manila, ia menyempatkan diri untuk menelepon Aluna. Rasa lelah tentunya menyelimuti diri Fatih. Apalagi setelah menempuh penerbangan kurang lebih sekitar empat jam di udara.

"Kafa?"

Pernikahan dengan Aluna adalah pernikahan pertama untuk Fatih. Pertama kali juga ia mengetahui seberapa berartinya Aluna untuknya. Selepas mendengar suara Aluna, rasa lelah dalam dirinya seolah hilang begitu saja. Yang tersisa hanyalah senyum bahagia dan juga perasaan yang menggebu-gebu dalam dirinya.

Deg,

Deg,

Deg.

Seandainya telepon juga bisa mengantarkan bunyi detak jantung, mungkin Fatih akan menjauhkan ponselnya sebentar agar Aluna tidak mendengar suaranya.

"Sudah makan?" Pertanyaan klasik memang. Namun kali ini, Fatih tidak hanya bertanya tanpa alasan apalagi basa-basi. Ia justru ingin memastikan apakah selepas dirinya kembali sibuk, Aluna tetap menjaga kesehatannya atau justru kembali mengurung diri di kamar.

"Sudah."

Jawaban yang singkat, padat, dan jelas —seperti Aluna biasanya. Fatih menaruh tangannya pada jendela hotel yang mengarah langsung pada pemandangan malam hari kota Manila. Ia menatap keluar sana dengan perasaan yang campur aduk. Seperti kehilangan sesuatu hingga hatinya terasa kosong dan menginginkan sesuatu yang lebih untuk mengisinya.

Fatih merindukan Aluna.

Hanya tiga kata itu mungkin yang bisa menjadi penjelasan untuk perasaan Fatih saat ini. Ia menjauhkan ponselnya sebentar untuk melihat jam di sana. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Perbedaan waktu antara Jakarta dengan Manila yang berselisih satu jam membuat Fatih risau. Ia kembali mendekatkan ponselnya ke telinga dan berbicara, "di sana sekarang pukul sebelas malam, kan?"

I'M ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang