Keringat mengucur deras membasahi kening Aluna. Ia berulangkali mengelapnya sambil berusaha mengontrol napasnya. Praktek pelajaran olahraga memang selalu terasa melelahkan untuk orang yang jarang bergerak seperti Aluna. Sejak bermain tadi, ia harus berusaha meningkatkan konsentrasi sekaligus menguatkan fisiknya yang biasanya hanya digunakan untuk duduk maupun berbaring saja menjadi bergerak lebih aktif hanya demi satu mata pelajaran ini.
Aluna memang tidak lihai bermain basket. Tetapi untuk sekedar lompat dan memasukkan bola ke dalam ring dengan gerakan yang benar, itu mampu ia lakukan. Entah mengapa hal itu membuat teman-teman Aluna berlomba-lomba untuk menjadi timnya dan menghindari diri dari menjadi lawan Aluna sewaktu permainan kelompok. Dua kolam untuk nilai permainan bola basket ini. Kolam pertama untuk nilai kehandalan melakukan gerakan dasar secara mandiri lalu kolam kedua untuk nilai kemampuan bermain dalam tim. Pembagian tim yang dilakukan sesuai gender itu setidaknya membuat Aluna tidak perlu memaksa fisiknya lebih jauh hanya agar mampu menyeimbangi fisik bermain basket laki-laki.
Tenggorokan Aluna terasa tercekat seiring dengan rasa haus yang terasa semakin meningkat. Ingin rasanya ia segera menuju kantin untuk membeli air minum namun napasnya yang memburu membuatnya enggan bahkan untuk sekedar bangkit dari duduknya.
"Nih."
Aluna mendongakkan kepalanya untuk melihat seseorang yang menyodorkan sebotol air mineral untuknya. Seorang lelaki yang memiliki wajah familiar untuk Aluna selaku seseorang yang menjadi nomor satu dalam bidang basket di sekolahnya.
Rafi Adyatma.
Ketua tim basket di sekolah Aluna, SMA Panca Warna.
Tanpa berpikir panjang, Aluna menerima air yang lelaki itu sodorkan. Hal itu mengundang senyuman di wajah Rafi. Dari sekian banyak yang Rafi berikan pada Aluna mulai dari bunga, cokelat, kue, dan benda-benda bernominal tinggi selalu saja Aluna tolak. Semua benda itu hari ini kalah hanya dengan sebotol air mineral yang tadi Rafi beli di kantin dengan harga yang tidak sampai seperempat uang yang dibawanya.
"Jangan terlalu percaya diri. Gue cuma males jalan ke kantin," kata Aluna ketika matanya melihat senyuman di bibir Rafi, selepas dirinya meneguk air dalam botol hingga habis setengahnya.
Rafi mengambil posisi untuk duduk di sebelah Aluna tanpa peduli kalau dirinya harus ikut duduk di atas lapangan yang kotor oleh debu dan pasir-pasir halus. "Enggak papah. Intinya lo terima pemberian gue. Itu udah suatu kemajuan walaupun cuma air, kan?"
Aluna mencibir. Ia menyeletuk, "nyesel gue minum." Dengan gerakan cepat, Aluna mengembalikan botol air mineral yang sisa setengah itu kepada Rafi.
Namun gerakan Rafi yang justru ikut meneguk air minum bekas Aluna tersebut membuat Aluna membelalakkan matanya. Ia kembali merebut botol itu dari tangan Rafi tidak peduli lelaki itu harus terbatuk-batuk karena belum sempat menelan air yang diminumnya. Selepasnya, Rafi hanya terkekeh geli karena tindakan panik dari Aluna.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M ALONE
Mystery / ThrillerSelf Injury, antisosial, dan trauma masa lalu semua itu Aluna miliki. Begitu banyak hal yang ia lupakan perihal masa lalu demi menjaga hari-harinya di masa kini agar tidak semakin terasa berat. Kesendirian, kesepian, serta kehilangan mampu membawany...