Mentari kembali menyapa langit pagi. Cahayanya kembali menyinari bumi dengan kehangatan selepas dinginnya malam. Beberapa manusia beramai-ramai mengawali aktivitas pagi, namun setengahnya lagi masih sibuk memejamkan diri demi mendapatkan istirahat di akhir pekan ini. Seperti Aluna contohnya. Gadis bernama lengkap Aluna Zafaca itu masih enggan menyibak selimut yang menutupi tubuhnya.
Di saat banyak orang mempersiapkan hari yang lebih baik daripada hari kemarin, Aluna justru tidak mempunyai niat sama sekali. Baginya, tidak ada istilah lebih baik untuk harinya karena semakin banyak hari yang ia jalani justru semakin banyak hal buruk yang ia alami.
Contohnya pagi ini. Sewaktu kamarnya masih dalam keadaan gelap tanpa secercah cahaya sedikitpun, juga sewaktu suasana kamar yang masih menciptakan keheningan, Aluna hanya mampu meringis di atas kasurnya. Tubuhnya remuk bagai diajak berlari beratus-ratus kilometer. Tangannya lemas seperti kehilangan denyut nadinya. Bukan. Bukan sebab orang lain dia seperti itu. Melainkan karena ulahnya sendiri. Kedua tangan yang kecanduan menyiksa diri dengan goresan pelan namun dalam menusuk kulit bersamaan dengan darah yang merembas keluar hingga menciptakan kengiluan bagi siapapun yang melihatnya. Air mata yang sudah kering bahkan tidak mampu mengikuti rasa sakit dari luka-lukanya Aluna.
"Aluna!"
Diantara dua puluh empat jam dalam sehari, tujuh hari dalam seminggu, dan tiga puluh hari dalam sebulan, bisa terhitung oleh jari Aluna seberapa banyak panggilan itu terdengar di telinganya. Harusnya ia senang. Kala sebulan penuh kedua orang tuanya hanya mampu menemuinya sesekali, seharusnya ia bahagia mendengar panggilan dari Rudi Pramudito selaku papanya pagi ini.
Namun sayangnya, Aluna tidak pernah menaruh sedikitpun kebahagiaan dalam hatinya ketika suara itu memasuki indera pendengarannya. Hanya usaha sekuat tenaga untuk bangkit dari tidurnya lalu memeluk kedua lututnya sambil menutup telinganya. Panggilan yang seharusnya penuh kasih sayang itu justru hanya harapan belaka. Karena faktanya, setelah panggilan itu terdengar, pasti selalu saja diiringi keributan setelahnya.
"Cepat keluar, Aluna! Mama dan Papa mau bicara!" Kali ini, suara itu berasal dari Wanda Alexandria —mamanya. Perempuan yang seharusnya ada menemani hari-harinya sedari kecil tetapi sayangnya hanya bisa ditemui sesekali dalam sebulan.
"Lihat! Aluna menjadi pembangkang seperti ini itu karena kamu! Seharusnya kamu ada di rumah untuk menemani dia sebagai ibunya! Ibu macam apa kamu?!" Ucapan papanya membuat Aluna menyakini bahwa itu akan menjadi awal untuk keributan pagi ini.
Benar saja, tidak lama setelahnya mamanya lalu menyahut, "ibu macam apa?! Seharusnya kamu yang tanya ke diri kamu sendiri. Papa macam apa kamu ini?! Sifat keras kepala dalam diri Aluna itu menurun dari kamu!"
Dua orang yang nampaknya saling mengenal watak satu sama lain itu justru membawa keduanya pada keributan yang mengganggu setiap orang yang mendengarnya. Seandainya Aluna bisa, ia ingin segera menghilangkan suara-suara yang memasuki telinganya itu agar suasana hening seperti biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M ALONE
Mystery / ThrillerSelf Injury, antisosial, dan trauma masa lalu semua itu Aluna miliki. Begitu banyak hal yang ia lupakan perihal masa lalu demi menjaga hari-harinya di masa kini agar tidak semakin terasa berat. Kesendirian, kesepian, serta kehilangan mampu membawany...