Tiga puluh delapan

272 29 0
                                    

Rintik hujan secara cepat menjatuhkan diri ke bumi selepas beberapa hari terakhir langit mendung tanpa kedatangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rintik hujan secara cepat menjatuhkan diri ke bumi selepas beberapa hari terakhir langit mendung tanpa kedatangannya. Suaranya terdengar keras seakan saling mengejar satu sama lain kala pintu menuju balkon kamar Aluna masih terbuka lebar-lebar. Dengan segera, Aluna menutupnya. Mencegah percikan air masuk lebih banyak lagi. Juga hembusan angin yang terasa begitu dingin menusuk kulit agar tidak membuat ruangan berpendingin itu semakin seperti lemari es.

Meskipun telah menutup pintu balkon kamarnya, Aluna tidak beranjak dari sana. Ia berdiam diri di depan pintu itu dengan mata yang menelusuri tanaman-tanaman tinggi sejauh beberapa meter dari halaman rumahnya. Kadangkala, Bi Nah mengatakan bahwa ia takut sewaktu melintasi tempat itu di sore hari sekalipun langit belum gelap. Ia takut ada makhluk tak kasat mata yang mengganggunya di perjalanan. Oleh sebab itu Bi Nah lebih suka berbelanja ketika mentari bersinar dengan hangat di langit sana.

"Di sini toh. Aku tadi ke ruang kerja kamu, Aluna."

Suara Neta —adiknya Fatih, memecah keramaian hujan. Aluna baru saja hendak berbalik untuk menghadap Neta ketika kedua matanya menemukan sosok tinggi dibalik pepohonan rindang yang berdiri kekar tak jauh dari rumah Aluna. Sosok itu memandangi rumah Aluna dengan tubuh yang dibalut hoodie. Dari pakaiannya, Aluna tahu itu manusia. Dan ditengah-tengah hujan yang memperburuk penglihatan, Aluna memicingkan matanya karena merasa mengenali sosok tersebut.

Alan.

Lelaki itu —entah mengapa, berdiri di sana sambil menatap rumah Aluna tanpa berniat beranjak meskipun hujan turun semakin deras. Dahi Aluna sampai mengerut, semakin lama semakin tidak memahami tingkah Alan setelah dua kali pertemuan beberapa hari terakhir.

"Aluna."

Suara Neta terdengar lagi seakan menginterupsi untuk segera didengar. Aluna berbalik badan, niatnya untuk melihat Neta sebentar sebelum kembali mengamati Alan dari kejauhan.

Tetapi Neta yang tiba-tiba memeluk erat Aluna mengambil seluruh perhatiannya. Apalagi selepas isak tangis yang terdengar darinya membuat Aluna mematung di tempatnya.

Aluna memahami seberapa sedihnya Neta selepas kehilangan kakak lelakinya. Tetapi semenjak kepindahan Aluna, Neta tidak pernah datang dan menangis seperti saat ini. Ia selalu berusaha terlihat baik-baik saja di depan Aluna dan berdalih bahwa dirinya datang hanya untuk mampir.

Padahal Aluna tahu. Saat Neta datang, itu artinya ia sedang merindukan Fatih —kakak lelakinya.

"Kenapa, Neta?" tanya Aluna setelah beberapa saat membiarkan Neta menangis agar ia merasa lega.

"Aku tahu kamu rindu Kafa. Bunga itu ... aku pernah membelinya bersama Kafa ketika pertama kalinya dia mengaku akan bertemu calon istrinya."

Ketika mendengar penuturan Neta, sendi-sendi Aluna melemas. Tangannya terkulai, melepas pelukannya pada Neta hingga hanya sepihak. Kedua mata Aluna menatap nanar buket bunga mawar yang kini tergeletak di atas meja kecil samping kasur Aluna.

I'M ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang