Empat puluh dua

274 22 0
                                    

Sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk, Fatih dengan cepat melangkah menuruni tangga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk, Fatih dengan cepat melangkah menuruni tangga. Awalnya ia menuju dapur namun segera beranjak karena hanya menemukan beberapa pelayan yang tidak begitu akrab. Ia kemudian menuju ruang tamu dan menemukan Bi Nah yang tengah memegang kemoceng dengan lap kecil di tangannya.

"Mas Fatih? Ada apa?" Bi Nah langsung menanyainya kala melihat wajah Fatih yang kebingungan.

"Aluna dimana, Bi?" Fatih balik bertanya. Ia menoleh ke kanan lalu ke kiri untuk mencari-cari istrinya yang keberadaannya sudah tidak terlihat sejak ia bangun tidur.

"Oh, Nona Aluna," timpal Bi Nah. Ia kemudian menjawab, "ada di studio pribadinya. Sedang bersiap untuk pergi ke Jakarta hari ini. Katanya ada keperluan mendadak dengan timnya. Kenapa memangnya, Mas?"

Fatih tersenyum tipis dengan sahutan yang singkat, "tidak apa-apa, Bi. Terima kasih." Selepas mengucapkan itu, Fatih menuju ruangan tempat Aluna berada yang letaknya bersebelahan dengan ruang keluarga.

Aluna terlihat sedang duduk di depan laptopnya tatkala Fatih memasuki studio pribadi tempatnya bekerja. Ia lantas menolehkan kepalanya untuk melihat kedatangan Fatih. Seulas senyuman terbit di bibirnya untuk menyambut suaminya.

"Pagi, Kafa," sapanya.

Fatih segera membalas, "pagi juga, Luna. Bagaimana kondisimu?"

Kening Aluna mengernyit heran mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Fatih. Sembari menyambut uluran tangan Fatih yang tiba-tiba menyentuh pipinya dengan sebelah tangan, Aluna menjawab, "baik. Kenapa memangnya?"

"Kemarin saya mendengar kamu sakit. Maaf karena saya jarang berpamitan bila pergi," ujar Fatih yang kemudian beralih mengelus kepala Aluna dengan lembut.

Aluna memberikan anggukan kecil, merasa tidak keberatan akan hal itu. Ia bertanya lagi, "bagaimana pencariannya? Apa berjalan lancar?"

Fatih menghentikan gerakan tangannya pada rambut Aluna. Ia berjalan menjauh untuk mendekati sebuah kursi yang berada di sudut ruangan, mendudukinya, barulah menjawab, "begitulah."

Tidak mudah untuk mencari pekerjaan di pinggir kota. Mungkin bila ingin lebih mudah, Fatih lebih baik menerima penawaran Rudi untuk memimpin perusahaannya. Ataupun mencari pekerjaan di ibu kota Jakarta. Namun sayangnya, hal itu tidak mungkin ia lakukan. Hanya satu alasan mengapa Fatih tetap bertahan di posisinya sekarang dan tidak melewati jalan pintas yang lebih mudah untuknya.

Fatih tidak ingin meninggalkan Aluna dan pergi ke ibukota.

Hanya itu. Dan karena itulah Fatih menjawab pertanyaan Aluna barusan seadanya tanpa berniat menjelaskan lebih lanjut. Ia malah terkesan menghindar dan tidak ingin membahasnya. 

Sepertinya Aluna pun memahami Fatih. Ia hanya menimpali dengan kedua mata yang enggan beralih dari laptopnya untuk menghindari eyes contacts dengan Fatih, "hm, begitu. Baiklah."

I'M ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang