Empat puluh sembilan

443 31 4
                                    

10 tahun kemudian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

10 tahun kemudian.

Semilir angin meniup pelan rambutnya. Seiring dengan senyuman tipis yang muncul di bibirnya, ia melihat secercah cahaya mentari yang mengintip diantara pepohonan. Menarik napas dalam-dalam, menghembusnya pelan-pelan. Udara segar yang telah lama tidak di hirupnya, kini ia hirup dengan serakah.

"Mas Fatih?"

Seorang lelaki yang nampaknya sudah berumur dengan rambut yang sedikit putih di beberapa bagian, melongok dari jendela mobil yang berada tidak jauh dari Fatih. Senyumnya begitu lebar menyambut kedatangan Fatih yang telah ditunggu-tunggu olehnya.

"Mang Udin?" Dengan langkah cepat, Fatih menghampiri mobil tersebut. Berjalan memutarinya agar bisa duduk bersebelahan dengannya. Membuka mobilnya, menutupnya dengan hati-hati, lalu memakai sabuk pengaman, Fatih barulah bertanya, "apa kabar, Mang?"

"Kabar saya baik, Mas. Kalau Mas Fatih, gimana kabarnya?" Mang Udin balik bertanya. Ia mulai menancapkan gas, meninggalkan lokasi yang sejak lama menjadi tempat yang mengurung Fatih selama bertahun-tahun lamanya.

"Baik, Mang. Sangat baik," jawab Fatih dengan bersemangat.

Tangan Fatih tergerak untuk menuruni kaca jendela mobil. Sedikit namun mampu membuat udara di luar menerobos masuk hingga mengacak-ngacak rambut Fatih yang berada di sebelahnya. Ia lalu berbicara pelan, "terlalu lama, ya, Mang?"

Mang Udin yang kini fokus menyetir sempat terkejut oleh ucapan Fatih. Namun ia buru-buru mengontrol ekspresinya agar hari bahagia ini tidak bercampur dengan kesedihan. "Nona Aluna selalu menunggu Mas Fatih, selama apapun itu."

Seulas senyum Fatih merekah semakin lebar. Ia menyibak rambutnya ke belakang karena menghalangi penglihatannya untuk menikmati pemandangan yang dilaluinya.

"Banyak sekali masa sulit yang Aluna jalani tanpa saya. Juga pertumbuhan anak kami. Saya khawatir dan takut dia tidak mau menerima saya sebagai papanya," tutur Fatih.

"Itu tidak mungkin, Mas," sanggah Mang Udin dengan cepat membuat Fatih menoleh ke arahnya yang kini tersenyum simpul.

"Kenapa Mang Udin seyakin itu?" Fatih bertanya lagi.

Sembari menginjak gas agar laju mobil lebih cepat kala mobil menjangkau lalu lintas yang lebih lapang, Mang Udin menjawab, "jam lima pagi tadi, anak Mas Fatih membangunkan semua orang di rumah. Hanya satu alasannya."

Mang Udin memberi jeda pada jawabannya, menimbulkan tanda tanya besar di kepala Fatih meminta untuk segera dilanjutkan.

"Papanya akan segera pulang."

Bersamaan dengan Mang Udin yang mengatakan kelanjutan jawabannya, Fatih kembali tersenyum. Tanpa sadar, buliran bening mulai mengalir membasahi pipinya.

Baru sekali ini, Fatih menangis sebab bahagia.

***

"Mama! Mana Papa?"

I'M ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang