Sepuluh

2K 93 0
                                    

Mentari mulai turun hingga sampai ke kaki langit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mentari mulai turun hingga sampai ke kaki langit. Cakrawala seolah tidak bermain-main dengan caranya untuk menjadi indah. Suasana perkotaan tempat Aluna tinggal seakan berubah menjadi seperti pedesaan sewaktu angin membawa udara sejuknya di sore hari menuju rumah Aluna.

Tidak banyak hal yang Aluna lakukan sepulang sekolah ini. Ia hanya memandangi langit tanpa berbicara apapun. Mulutnya terbungkam bahkan tidak ada sedikitpun senyuman sewaktu kedua matanya menangkap keindahan alam di sore hari. Sunset di langit sana seperti tidak mampu untuk membuat ujung bibir Aluna terangkat dan membentuk senyuman.

Entah sampai kapan kekhawatiran Aluna terus bersambung. Selayaknya sebuah cerita dalam buku novel, kecemasan Aluna tidak memiliki ending dan hanya menyisakan lembaran-lembaran kosong yang belum tertuliskan perihal seperti apa kedepannya nanti. Akankah ada ujungnya atau hanya sebuah lembaran putih yang terus bertambah seiring waktu.

Semua itu lebih mengesalkan untuk Aluna saat dirinya masih belum mampu menyalahkan siapapun. Seandainya ia telah menemukan pelaku penyebab pembunuhan kakaknya, mungkin setidaknya ia akan menjadikan lelaki itu pelampiasan dari semua hal buruk yang diterimanya saat ini sekalipun perilaku itu tidak sepenuhnya benar.

Paling tidak, Aluna tidak ingin menyalahkan dirinya sendiri terus-menerus seperti sekarang yang tidak mampu menemukan jawaban namun tidak mampu juga berdamai.

"Nona Aluna."

Kepala Aluna menoleh ke arah pintu, tempat panggilan itu berasal. Bukan berasal dari Bibi melainkan dari salah satu pelayan yang eksistensi selalu dipertanyakan oleh Aluna. Bagaimana tidak, meskipun Aluna tahu rumahnya besar, tetapi pelayan yang sebegitu banyaknya bukannya terlalu berlebihan? Begitu menurut Aluna. Apalagi jumlah pelayan selalu tidak pasti seolah ada seseorang yang terus mengganti-ganti mereka hingga kesannya seperti bekerja di rumah Aluna dengan kontrak serta memiliki jangka waktu kapan pelayan itu bekerja dan kapan pelayan itu berhenti.

Aluna tidak menyahut. Ia lebih memilih menunggu pelayan itu meneruskan kalimatnya dengan kening Aluna yang terus mengerut karena heran. Tidak biasanya juga bukan Bibi yang memanggilnya dan justru pelayan asing itu.

"Ada Tuan Fatih di depan. Ia ingin menemui Nona," ujarnya.

Untuk sejenak, Aluna melirik jam di dinding. Tidak biasanya Fatih datang pukul tujuh malam. Waktunya terlalu tidak pas untuk Fatih yang biasanya datang di saat-saat yang tidak ragu seperti sekarang. Bila ia datang pagi, ia akan datang di waktu yang benar-benar menandakan bahwa itu pagi hari seperti jam tujuh atau jam delapan. Bila Fatih datang siang ia akan datang pukul satu atau dua siang. Bila sore, jam empat atau lima adalah pilihannya. Lalu bila malam, ia datang pukul delapan atau sembilan. Tidak diwaktu sore menjelang malam seperti jam tujuh ini.

Dan yang lebih Aluna tidak mengerti adalah dirinya sendiri yang ternyata memperhatikan kedatangan Fatih sedetail itu.

"Aluna." Fatih memanggilnya sewaktu Aluna telah sampai di ruang tamu. Tetapi bukannya menyahuti Fatih, perhatian Aluna justru tertuju pada lelaki di belakang Fatih yang saat ini tersenyum tipis padanya seolah menyapa.

I'M ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang