"Winter, tolong bawakan bukunya ke meja saya ya," pinta Bu Yuri kepada Winter.
"Baik, Bu."
Winter mengambil buku tulis milik teman-temannya untuk dibawa ke meja Bu Yuri. Karina menawarkan diri untuk membantu tetapi Winter menolaknya karena tahu bahwa jam istirahat ini sahabatnya itu ada rapat untuk membahas pensi, kebetulan Karina mendaftarkan diri menjadi salah satu panitia.
"Sorry banget, Win. Gara-gara ada rapat, gue gak bisa bantu lo."
"Gak papa. Santai. Cuma buku tulis kok."
Mereka keluar kelas dan berpisah menuju tujuan masing-masing. Winter menuju ruang guru, sedangkan Karina menuju ruang OSIS.
Winter berjalan di sepanjang lorong sekolah. Para siswa berlalu-lalang, ada yang ke kantin, ada yang ke toilet, maupun ke taman belakang sekolah. Winter tidak mempedulikan mereka sampai ada seseorang yang memanggilnya dari belakang.
"Winter!" panggil orang itu.
Winter berhenti dan menengok ke belakang. Ia melihat orang yang berjalan mendekat itu. Seketika jantungnya berdegup kencang. Ia tidak bisa mengontrolnya. Bagaimana ini?
"I- iya? Ada a- apa ya?" ucap Winter gugup.
"Mau ke mana bawa-bawa buku? Ruang guru?" tanya orang itu setelah sampai di hadapan Winter.
"Iya."
Jeno mengambil semua buku yang dibawa Winter. "Biar gue bantu bawain."
Winter melebarkan matanya. "Eh gak usah. Gue bisa bawa sendiri kok."
Sebenarnya ia sedikit pegal membawa buku tulis, apalagi ruang guru berada di lantai dua dan tangga menuju lantai dua berada jauh dari kelasnya. Namun ia tidak bisa membiarkan Jeno membantunya. Akan terjadi masalah jika Yeji mengetahuinya. Ia tidak mau dimarahi lagi oleh gadis itu. Dan yang pasti ia tidak mau dicap sebagai pelakor.
"Gak papa. Gak seharusnya cewek bawa yang berat-berat," jelas Jeno lalu berjalan.
Winter mengikuti Jeno, masih berusaha mengambil kembali buku yang dibawa pemuda itu. Ia tidak peduli dengan siswa yang melihatnya. Ia harus menjauh dari Jeno sebelum Yeji melihat mereka berdua.
Berbicara tentang menjauh, sebenarnya ia tidak ingin, tetapi keadaan memaksanya untuk melakukan itu. Sakit memang, ia mengakuinya. Ia tidak pernah menyangka bahwa rasa cintanya satu tahun itu harus dikuburnya dalam-dalam. Ia juga menyesal mengapa ia harus mengenal Jeno ketika pemuda itu sudah memiliki kekasih. Seharusnya ia memberanikan diri untuk berkenalan dari jauh-jauh hari.
Ketika sedang berusaha mengambil kembali buku, tanpa sengaja ia menginjak tali sepatunya sendiri yang menjulur ke lantai. Akhirnya ia terjatuh. Jeno yang melihatnya refleks meletakkan buku yang dibawanya di tempat duduk yang berada di depan salah satu kelas dan menolong Winter.
"Mana yang sakit?" tanya Jeno.
Ia melihat lutut Winter yang berwarna biru. Kemudian membantu Winter duduk di sebelah tumpukan buku. Ruang guru sudah tidak jauh lagi. Jeno meminta Winter tetap duduk dan menunggu ia mengantar buku. Ia juga bertanya di meja siapa buku harus diletakkan.
"Tapi gue bisa bawa bukunya sendiri," ucap Winter namun Jeno sudah pergi terlebih dahulu.
Sudah dua kali ia berlaku ceroboh di depan Jeno. Mau diletakkan di mana mukanya sekarang? Kemarin tidak sengaja menabrak, sekarang terjatuh karena menginjak tali sepatu sendiri. Ia yakin pasti dirinya dicap sebagai anak yang ceroboh oleh Jeno. Rasanya ia tidak bisa menunjukkan wajahnya lagi di hadapan pemuda itu.
Tanpa berpikir panjang, ia berdiri untuk menyusul Jeno di ruang guru. Namun sialnya, ia terjatuh karena merasakan sakit di kakinya sewaktu melangkah. Oh tidak! Kakinya keseleo! Bagaimana ia bisa kembali ke kelas dengan keadaan seperti ini?
"Mendingan gue ngechat Karina," gumamnya sembari mengeluarkan ponselnya dari saku.
Centang satu! Ia lupa bahwa Karina masih dalam rapat panitia. Bagaimana ini? Tunggu, ia masih bisa meminta tolong Ningning dan Giselle. Ia mencari kontak Ningning untuk ditelepon. Satu menit, belum diangkat.
"Ayo gue anter ke UKS," ujar Jeno yang sudah kembali dari ruang guru.
"Eh, gak usah. Ini gue lagi nelpon temen gue kok buat bantu gue. Lo duluan aja," jelas Winter yang tidak mau merepotkan Jeno.
"Di depan lo udah ada orang yang mau bantuin, tapi lo minta bantuan sama orang yang gak ngangkat telpon lo?" tanya Jeno yang kemudian jongkok di depan Winter.
"Ayo naik. Biar gue gendong."
Winter membesarkan matanya. Ningning dan Giselle tidak mengangkat teleponnya. Ia terjebak dalam situasi yang sulit.
"Eh, gak perlu. Gue takut pacar lo liat."
"Gak, santai aja. Kalo dia liat biar gue yang urus."
Dengan hati-hati, Winter naik ke punggung Jeno. Ia tidak mau membuang waktu karena istirahat sudah tidak lama lagi. Kasihan Jeno kalau sampai dia terlambat masuk kelas gara-gara dirinya.
"Maaf kalo gue berat," ujar Winter.
"Lo gak berat sama sekali, jadi jangan minta maaf," jawab Jeno. Ia tidak berbohong. Berat Winter belum ada apa-apanya dibanding latihannya selama ini sebagai anggota tim basket.
Sesampainya di UKS, Jeno mendudukkan Winter di tempat tidur dan segera mencari obat yang bisa digunakannya untuk mengobati memar di lutut Winter.
Setelah menemukannya, Jeno mengecek lutut Winter. Ia segera memberi antiseptik pada lutut gadis itu dan menempelkan hansaplast. Ia juga mengecek pergelangan kaki Winter yang keseleo. Ia memijat pergelangan kaki gadis itu agar tidak bertambah parah.
"Lo istirahat dulu aja. Buat sementara lo gak usah ikut pelajaran dulu. Biar gue yang urus izinnya," ujar Jeno kepada Winter.
Winter tidak memprotes. Ia malah senang kalau tidak mengikuti pelajaran karena setelah ini pelajaran di kelasnya adalah kimia, salah satu pelajaran yang tidak disukainya. Ia juga tidak yakin bahwa Karina kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran. Biasanya rapat yang berhubungan dengan OSIS akan berlangsung lama.
Jeno tampak menelepon seseorang, Winter tidak tahu siapa yang pemuda itu hubungi karena Jeno tidak menyebutkan namanya. Beberapa menit kemudian ada suara ketukan pintu dan masuklah orang yang Jeno hubungi. Terlihat Sungchan masuk sambil membawa kantong plastik.
"Winter biar gue yang urus, lo mintain izin aja," ujar Sungchan kepada Jeno.
Jeno keluar dari UKS digantikan oleh Sungchan. "Lo tiduran aja, kaki lo biar gue kompres pake es."
"Eh, gak usah. Gue gak enak selalu ngerepotin orang." Winter tidak menyangka bahwa Jeno menelepon Sungchan. Ia teringat sewaktu di pasar malam, rupanya Jeno meminta tolong Sungchan karena tahu ia dan Sungchan berteman.
"Maaf udah ngerepotin lo," ujar Winter lagi
"Santai aja. Gue malah khawatir lo sakit gini."
Winter tidak menjawab perkataan Sungchan. Pemuda itu terlihat fokus mengompres pergelangan kakinya. Dingin, namun kompresan Sungchan sangat hati-hati agar tidak membuat kakinya terasa sakit. Lama kelamaan tanpa sengaja, ia tertidur.
🌸🌸🌸🌸
Halo semua^^
Semoga kalian belum bosen ya baca cerita ini^^
Gimana bab kali ini? Apa kalian suka?
Kalo suka jangan lupa vote, komen sebanyak-banyaknya, dan share ke temen-temen kalian ya^^
Terima kasih🙏

KAMU SEDANG MEMBACA
LUCID DREAM
FanficSemua orang tahu bahwa lucid dream itu adalah mimpi yang terasa nyata. Hal yang sama juga dialami oleh Winter, seorang pemimpi, oh bukan, lebih tepatnya seorang penghalu. Namun ia mengalaminya dengan mata terbuka. "Ini beneran?! Astaga gak nyangka g...