Ketika semua siswa berangsur meninggalkan kelas, hanya Yeji yang memasuki kelas Sungchan. Pemuda yang ingin ditemuinya itu masih terlihat di tempat duduknya. Sebelum ia sampai di meja Sungchan, pemuda itu sudah berdiri bermaksud untuk segera keluar kelas. Dengan cepat ia mencegah agar Sungchan tidak meninggalkan kelas.
Sungchan menarik lengan Yeji meninggalkan kelas. Ia mengajak gadis itu menuju sudut sekolah yang tampak sepi. Setelah ia melepaskan tangan gadis itu, ia berkata, "Lo pasti mau denger jawaban dari gue."
"Jadi gimana?" tanya Yeji tanpa basa-basi.
"Apa untungnya buat gue?"
Yeji mengerutkan dahi. "Maksud lo?"
Sungchan mengulangi pertanyaannya sekali lagi. "Emang lo bisa jamin setelah Winter jauh dari Jeno, dia bisa suka sama gue?"
"Masalah dia suka sama lo atau gak, gue gak tau. Yang penting lo pastiin dia gak deket-deket sama Jeno."
"Gitu?" tanya Sungchan. Yeji mengangguk.
"Gue nolak," balas Sungchan singkat kemudian pergi.
Yeji memanggil Sungchan yang sudah berjalan meninggalkannya. Ia tidak suka menerima penolakan. Karena pemuda itu tidak menghentikan langkah, akhirnya ia berlari menyusul untuk membujuknya lagi.
Setelah berhasil menghentikan Sungchan, ia bertanya mengapa pemuda itu menolak tawarannya. Bukankah Sungchan juga akan bisa dekat dengan Winter? Bukankah tawarannya sungguh menguntungkan kedua belah pihak?
"Gue gak suka main kotor. Apalagi kerja sama dengan cewek licik kayak lo."
Yeji tercengang dengan perkataan Sungchan. Kali ini ia tidak menghentikan pemuda yang sudah pergi itu. Licik? Apa ia tidak salah dengar? Tidak, ia tidak licik. Ia hanya berusaha mendapatkan keinginannya.
....
Jeno berdiri di depan Winter. Mereka berada di taman belakang sekolah. Beberapa menit sebelumnya ia memang sengaja mengajak gadis itu untuk mengatakan sesuatu. Setelah sedikit berdebat dengan Karina, akhirnya ia bisa mengatakan tujuannya. Sebetulnya Winter akan membantu Karina untuk membantu membuat dekorasi.
"Mau ngomong apa?" tanya Winter yang sedikit gugup.
Bagaimana ia tidak gugup? Sepanjang perjalanan ke taman tangannya digenggam oleh Jeno. Degup jantungnya pun sampai sekarang belum santai. Mimpi apa dia semalam? Ia tidak pernah membayangkan tangannya akan digenggam oleh Jeno.
"Maaf kalo gue ngajak lo ke sini," jelas Jeno membuka percakapan.
"Jadi gue pengen ngajak lo besok ke acara tunangan tante gue. Tante gue maksa buat ngajak temen cewek, jadi gue mau ngajak lo. Lo mau, kan?"
Winter tidak menjawab. Ia hanya menatap Jeno tanpa berkedip. Apakah sekarang ia sedang kejatuhan emas? Ada apa ini? Jeno mengajaknya ke pesta pertunangan tantenya? Ini sudah jauh dari perkiraannya. Ia tidak pernah sampai berpikir bisa diajak ke pesta oleh Jeno.
"Gini aja. Kalo lo dateng, gue bakal turutin perintah lo sebagai gantinya. Tapi kalo gak mau gak papa sih, gue gak maksa kok."
"Eh iya gue mau," jawab Winter cepat.
Seharusnya Jeno tidak perlu sampai berkata seperti itu. Ia dengan senang hati akan datang. Kebetulan ia juga tidak ada jadwal di akhir pekan. Ia sudah pasti akan datang, apalagi Jeno yang mengajaknya sendiri.
"Makasih. Gue jemput di rumah lo jam setengah tujuh malem."
Setelah percakapan singkatnya dengan Jeno yang mengajaknya pergi ke pesta, Winter berjalan kembali ke kelas dengan hati berbunga-bunga. Kini rasa sukanya dengan Jeno semakin bertambah setiap detiknya. Ia juga merasa senang karena bisa lebih dekat dengan Jeno.
🌸🌸🌸🌸
Halo semua^^
Maaf kalo bab kali ini pendek, soalnya lagi gak bisa fokus nulis😬
Ide sih ada, tapi entah kenapa gak bisa fokus pas mau dituangin😭
Mungkin mulai sekarang cerita ini bakal lebih lama update soalnya mulai bulan depan udah mulai kuliah online lagi🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
LUCID DREAM
FanfictionSemua orang tahu bahwa lucid dream itu adalah mimpi yang terasa nyata. Hal yang sama juga dialami oleh Winter, seorang pemimpi, oh bukan, lebih tepatnya seorang penghalu. Namun ia mengalaminya dengan mata terbuka. "Ini beneran?! Astaga gak nyangka g...